Langgar Hukum, Anggota TNI/Polri Aktif Diangkat Jadi Pejabat BUMN

Anggota TNI/Polri aktif diangkat menjadi pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melanggar hukum.

“Kebijakan pengangkatan sejumlah prajurit TNI aktif dalam jajaran BUMN bertentangan dengan Pasal 47 Ayat (1) UU TNI,” kata Koalisi Masyarakat Sipil dalam pernyataan kepada wartawan, Ahad (21/6/2020).

Dalam UU TNI mengamanatkan Prajurit TNI aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.

“Terdapat pengecualian bagi jabatan-jabatan sipil tertentu untuk dapat diduduki oleh prajurit aktif dalam rangka tugas perbantuan TNI kepada pemerintahan sipil dalam kerangka operasi militer selain perang (OMSP) sebagaimana diatur Pasal 7 Ayat (2) dan (3) UU TNI,” paparnya.

Koalisi Masyarakat Sipil memandang pengangkatan perwira aktif TNI-Polri dalam jajaran BUMN juga bertentangan dengan semangat reformasi seketor keamanan dan prinsip profesionalisme yang seharusnya dijadikan landasan dalam pengelolaan negara termasuk di institusi TNI dan Polri serta BUMN.

Kata Koalisi Masyarakat Sipil, pengangkatan sejumlah prajurit dan perwira aktif TNI-Polri tidak sesuai dengan peran dan fungsi TNI dan Polri sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan.

Menurut pasal 5 UU No. TNI: “TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Sedangkan pada pasal 2 UU Polri menyatakan: “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, penempatan sejumlah perwira aktif TNI-Polri dalam jajaran BUMN menggambarkan keengganan (unwillingness) Pemerintah dalam pelaksanaan reformasi TNI dan Polri (Tap MPR No. VI dan VII Tahun 2000).

Dalam pernyataannya di beberapa media, Pemerintah mengutarakan maksud di balik pengangkatan sejumlah prajurit dan perwira aktif TNI-Polri disebabkan banyaknya konflik di lapangan antara BUMN dan masyarakat, misalnya konflik tanah, perizinan yang tumpang tindih, dan isu sosial.

“Ini mengindikasikan akan digunakannya pendekatan keamanan dalam mengamankan kepentingan perusahaan, yang sangat potensial terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM di kemudian hari, mengingat dalam banyak kasus pembela HAM kerapkali menjadi korban dalam konflik-konflik serupa,” pungkasnya.