Pemusik Medan Dorong dr. Tirta Layani Tantangan Debat Ano Andro


Pernyataan dr. Tirta Mandira Hudhi tentang tidak boleh ada live music di café dalam rangka protokol new normal saat ia berada Holywings Gunawarman dinilai banyak pihak tendensius dan mendiskreditkan para musisi yang selama ini mencari penghidupan dari café ke café.



“Pernyataan itu sangat tendensius sementara kalau dilihat dari foto yang diupload di medsos, dia sendiri tidak memenuhi protokol kesehatan itu. Meski memakai masker, tapi dia tidak menjaga jarak bahkan berfoto dengan orang lain tanpa jarak sama sekali,” ujar Sembada, seorang pemusik Medan yang selama ini mencari penghidupan dari bermain music dari panggung ke panggung dan di café-café.





Ditegaskannya, tak ada hak dr. Tirta melarang café mengadakan pertunjukan music secara live.



“Emangnya dia siapa? Tanpa dia larang-larang pun selama masa pandemic corona ini kami di Medan sudah lose job. Pemilik café banyak yang mengurangi jam operasinya karena sepi pengunjung. Saya pikir keadaan yang sama juga terjadi di kota-kota lainnya” tambahnya. 



Karena itulah Sembada setuju dengan Ano Andro, Ketua PMCI yang menantang Tirta debat soal ini. “Ya, dia harus layani tantangan debat itu. Biar jelas duduk perkaranya. Jangan asal bikin statement. Tau gak dia kalau sejak pandemic corona ini banyak di antara pemusik dan pengisi acara di café-café kehilangan mata pencahariannya?” tutur Sembada lagi.



Bagi Sembada yang kini lebih banyak bekerja sendiri di dalam studio, selama protocol kesehatan yang diterapkan pemerintah dipenuhi, sebenarnya tak ada masalah. “Kalau alasannya mengundang keramaian, lha itu di mal-mal, di pasar di bis-bis kota, orang tetap ramai,” ujarnya.



Seharusnya, tambah Sembada, sebelum mengeluarkan statemen, Tirta mencermati lebih dulu situasi yang ada dengan benar. “Tau gak dia, begitu  PSBB diberlakukan, dampaknya langsung dirasakan para musisi, baik yang me njadi pengisi acara di café-café maupun acara lainnya. Mereka langsung jadi pengangguran karena pihak manajemen café menghentikan semua kegiatannya,” ujar Sembada.



Terus terang, tambah Sembada, sebagai pemusik yang hidupnya tergantung dari mengisi acara dari panggung ke panggung dan dapat job di café-café, kehidupan mereka berbeda dengan pemusik yang sudah mapan.



“Jadi tak bisa disamakan. Mereka, sekalipun tidak ada kegiatan, sudah punya tabungan dan setidaknya dapat royalty dari karya-karya yang sudah meereka hasilkan. Lha, kalau kami dari mana? Tak ada acara berarti tak ada penghasilan,” katanya.



Karena itulah Sembada setuju dengan pemusik Anang Hermansyah yang pernah mendesak Kementerian Parawisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) agar membuat terobosan baru di tengah pandemi virus corona di Indonesia. “Ya, biar kita gak kelamaan nganggur,” jelasnya.