Yang Membatalkan Hak Waris

KH Luthfi Bashori

Ada dua keadaan yang jika terjadi, maka putuslah hak waris bagi pelakunya. Maksudnya si pelaku tidak mendapatkan hak waris dari harta yang ditinggalkan oleh mayit/jenazah yang terkait.

Sebagaimana dipahami oleh umat Islam, bahwa karena hubungan darah dan pernikahan itu, jika ada salah satu dari mereka yang meninggal dunia, maka yang ditinggal itu akan mendapatkan harta waris dari mayit/jenazah, tentunya harus sesuia dengan aturan yang telah diatur dalam ilmu Faraid (pembagian hak waris).

Namun dalam Syariat, ada pengecualian bagi keluarga yang ditinggal itu, adakalanya dilarang (haram) mendapatkan hak warisnya, karena telah melanggar aturan agama.

Yang pertama, jika ada ahli waris yang sengaja membunuh pemilik harta, sebagaimana umumnya, hal ini terjadi karena si pelaku ingin secepatnya dapat menguasai harta yang dimaksud. Namun dengan adanya pembunuhan ini, justru si pelaku dilarang (haram) mendapatkan harta waris dari mayit/jenazah, sekalipun ada hubungan darah semisal anak dan orang tua, atau hubungan pernikahan suami dan istri.

Baca juga:  Bukti Rekayasa Atas Konspirasi Pembunuhan Nabi Yusuf

Rasulullah SAW bersabda, “Yang membunuh tidak mewarisi harta dari yang dibunuhnya.” (HR. Nasa’i).

Yang kedua yaitu murtda, contohnya sengaja keluar dari Islam semisal dengan pindah agama, seperti umumnya yang terjadi pada pernikahan beda agama, atau menyatakan dengan penuh kesadaran bahwa si pelaku menjadi Atheis (anti agama).

Rasulullah SAW juga bersabda, “Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jadi jelaslah, bahwa seseorang yang keluar dari agama Islam kehilangan hak untuk mewarisi harta keluarganya yang meninggal.

Pengaruh murtad itu tidak hanya memutuskan hubungan kekeluargaan khususnya yang terkait dengan harta waris, namun bagi hubungan suami-istri dapat menyebabkan perceraian.

Baca juga:  Musuh-Musuh Aswaja yang Harus Diwaspadai

Assyeikh Muhammad Az-Zuhri, dalam kitab As-Sirajul Wahhâj, cetakan Darul Ma’rifah, Beirut, halaman 377 mengatakan:

“Apabila suami – istri murtad atau salah satunya saja sebelum mereka bersenggama, otomatis terjadi talak (cerai). Jika murtadnya terjadi setelah mereka pernah melakukan senggama, walaupun hanya sekali, maka ikatan tali pernikahannya ditangguhkan. Kalau mereka masuk Islam lagi dalam masa iddah, pernikahannya terjalin kembali lagi secara otomatis. Namun, apabila masa iddah sampai habis, namun belum masuk Islam lagi, maka terjadi talak. Selama masa pending dari tali pernikahan pasangan suami – istri itu tidak boleh melakukan senggama.”