KomTak Minta KPK dan DPR Lebih Fokus Awasi Proses Perkara di MA
Lieus Sungkharisma Tengarai Praktek Jual Beli Perkara Masih Terjadi
Surat Terbuka Nyonya Hartati, pemilik Villa Bali Rich (PT. Bali Rich Mandiri) di Bali kepada Ketua Mahkamah Agung (MA), yang berisi permohonan perlindungan hukum atas ketidakadilan yang menimpanya, mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Salah satunya adalah dari Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma.
“Apa yang dialami Nyonya Hartati tidak saja membuat kita prihatin, tapi sekaligus menunjukkan bahwa praktik-praktik melanggar hukum yang merugikan kaum lemah masih terjadi di negeri ini. Bahkan itu di tingkat Mahkamah Agung,” ujar Lieus.
Menurut Lieus, ditangkapnya mantan Sekretaris MA, Nurhadi, oleh KPK membuktikan bahwa praktik melanggar hukum itu juga terjadi di tingkat MA. Karena itulah Lieus meminta KPK dan DPR lebih fokus mengawasi proses berbagai perkara yang berlangsung di MA.
Lieus bahkan menengarai praktik jual beli perkara di MA masih terus terjadi hingga sekarang. Dalam kasus Nyonya Hartati, kata Lieus, yang bersangkutan mengaku didatangai seseorang yang mengaku dari MA dan meminta sejumlah uang agar perkaranya bisa menang.
“Tidak tanggung-tanggung. Jumlah yang diminta mencapai 12 milyar tapi kemudian turun hingga 10 milyar. Dan uang itu harus diserahkan juga dalam minggu ini kalau nyonya Hartati ingin perkaranya menang di MA,” tutur Lieus.
Lieus menegaskan, ia terpaksa mengungkapkan hal ini karena tidak ingin orang-orang yang lemah terus menjadi korban ketidakadilan dalam penegakan hukum. “Karena itu KomTak meminta dengan sangat perhatian KPK dan juga Ketua DPR RI, Ibu Puan Maharani untuk mengawasi proses perkara kasasi yang berlangsung di MA,” tegasnya.
Seperti diketahui, tahun 2015 Nyonya Hartati melakukan transaksi jual beli Villa Bali Rich (PT. Bali Rich Mandiri) miliknya kepada Asral Bin Muhamad Sholeh senilai Rp 38 Milyar.
Pembayaran DP sebesar Rp 1 Milyar dilakukan tanggal 09 Juli 2015. Dengan perjanjian akan mencicil dan membayar lunas sampai dengan 31 Desemberi 2016. Namun sampai dengan saat ini (2020), tidak pernah ada pembayaran pelunasan.
PT Bali Rich Mandiri sendiri memiliki asset antara lain Bali Rich Villa Ubud yang berdiri diatas tanah seluas 7.335 M2 dan luas bangunan 3.204 M2 yang terdiri dari 19 Villa yang masing-masing ada fasilitas kolam renang beserta fasilitas restaurant, spa, dan lain-lain berikut isinya.
Pada tanggal 20 Nopember 2015, bertempat di Kafe Moka Jakarta, yang dihadiri Asral, Suryady, Hendro, Tri Endang Astuti istri dari terdakwa Asral Bin Muhamad Sholeh (semuanya kini berstatus terdakwa), Nyonya Hartati dipaksa menandatangani surat pelunasan jual beli yang sudah disiapkan di amplop coklat. Tetapi Nyonya Hartati tidak mau menandatanganinya karena ia memang belum menerima pelunasan. Sebagai akibatnya, Nyonya Hartati diintimidasi dan tandatangannya pun dipalsukan.
Perkara inipun akhirnya berlanjut di meja pengadilan. Namun, meski di tingkat Pengadilan Negeri nyonya Hartati dinyatakan menang dan para tersangka didakwa bersalah, namun pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi justru nyonya Hartati dinyatakan kalah hingga perkara pun berlanjut ke tingkat kasasi di MA.
Di tingkat kasasi ini, dari enam berkas perkara terkait kasus yang menimpanya, satu perkara dengan terdakwa I Putu Adi Mahendra Putra, S.H.,M.Kn, memutuskan nyonya Hartati menang. Terdakwa I Putu Adi Mahendra Putra, S.H.,M.Kn berdasarkan Putusan MA Perkara Nomor 134 k/Pid/2020 dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pemalsuan Surat” yang dilakukan secara bersama-sama” dengan para terdakwa lainnya, yakni: 1. No. 534k/pid/2020 atas nama Terdakwa Hartono, SH. 2. No. 535k/pid/2020 atas nama Terdakwa I Hendro Nugroho Prawiro Hartono 3. No. 555k/pid/2020 atas nama Terdakwa Suryady alias Suryady Azis 4. No. 544k/pid/2020 atas nama Terdakwa Asral Bin Muhamad Sholeh 5. No. 557k/pid/2020 atas nama Terdakwa Tri Endang Astuti binti Solex Sutrisno.
“Terdakwa I Putu Adi Mahendra Putra, S.H., M.Kn pada saat kejadian adalah staff dari Notaris Hartono, S.H., M.Kn yang bekerja atas perintah, dan instruksi Notaris Hartono selaku atasan langsung,” ujar Lieus.
Oleh karena itu, agar dugaan atas praktik jual beli perkara di MA tidak terus terjadi dan kasus ditangkapnya mantan Sekretaris MA Nurhadi tidak terulang lagi, Lieus sangat berharap KPK dan DPR RI terus memantau kasus yang menimpa orang-orang lemah seperti nyonya Hartati ini.
“Nyonya Hartati adalah orang lemah dan juga janda. Suaminya sudah lama meninggal dunia. Karena itu dia sangat berhak mendapat perlindungan dan keadilan hukum dari Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir penegakan hukum dan keadilan di negeri ini,” ujar Lieus.