Negarawan Sejati bukan Tukang Klaim

Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus LD PWNU Jabar

Sulit mengatakan bahwa negara Indonesia adalah negara sekuler seperti yang dituduhkan kelompok radikal. Karena kemerdekaan Indonesia diinsafi dan diyakini sebagai rahmat dari Allah swt. Seperti yang termaktum di dalam Pembukaan UUD 45 alinea ke-3: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Para pendiri bangsa tidak mengklaim kemerdekaan Indonesia adalah hasil jerih payah dan pengorbanan mereka melawan penjajah. Inilah puncak kesadaran yang dimiliki oleh orang-orang selalu mengaitkan hati dengan Allah swt. Merekalah negarawan sejati.

Seorang ahli hakikat mengatakan: “Orang yang telah sampai pada hakikat Islam tidak akan melemah dalam beramal. Orang yang telah sampai pada hakikat iman tidak akan berpaling pada amal. Dan orang yang telah sampai pada hakikat ihsan tidak akan menoleh kepada apa pun dan siapa pun kecuali kepada Allah.”

Dari proses pembentukan sampai perjalanan bangsa Indonesia banyak mengalami permasalahan. Akan tetapi Seorang negarawan benar-benar dituntut keikhlasannya, keluasan hatinya, kebesaran jiwanya, kecerdasan akalnya dan kekuatan badannya agar kemaslahatan sampai ke setiap orang tanpa terkecuali meski dia tidak mengenal siapa orang yang diurusnya.

Semakin banyak orang yang merasakan manfaat dari kebijakan politiknya, maka semakin besar pahala yang diterimanya. Jika kemaslahatan itu dirasakan sepanjang waktu, maka ia menjadi pahala jariyah yang diterima negarawan sampai yaumil hisab.

Sebelum mencapai maqam negarawan yang sejati, seseorang harus mendapatkan ahwal (suasana hati) yang welas asih, pengasih, penyayang dan pemaaf kepada orang lain yang diurusnya. Jika sifat-sifat itu bukan sifat seorang negarawan dari lahir, maka sifat-sifat tersebut bisa diperoleh dengan warid (limpahan ruhani) setelah istiqamah mengamalkan wirid.

Negarawan sejati mempunyai ruang harapan yang luas di dadanya. Mereka lebih mengandalkan Allah swt ketimbang amal mereka sendiri. Sebab itu mereka tidak pernah putus harapan, bagaimana pun terpuruknya bangsa kita.

Syaikh Ibnu ‘Athaillah mengawali hikmahnya di dalam kitab al-Hikam dengan untaian kalimat yang indah

مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ لــَـلِ

“Di antara tanda-tanda bersandar kepada amal adalah berkurangnya rasa harap ketika terjadi kesalahan.”

Rakyat yang mengandalkan amal diri dan pemerintah akan berkurang rasa harapnya kepada Allah swt agar segera menurunkan rahmat untuk mengangkat krisis multi dimensi ketika melihat kekurangan dan kesalahan pemerintah dalam mengimplimentasikan kebijakannya.

Keluar dari ketaatan kepada pemerintah (menjadi khawarij), menuntut pemakzulan Presiden (makar) dan bertindak anarki (bughat), di antara bentuk-bentuk putus asa dari rahmat Allah swt.

Bandung, 4 Mei 2020
Direvisi di Ciputat, 4 Juni 2020