Lawan Otoritarianisme Rezim Jokowi

Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syebubakar

Pakar hukum tata negara Refly Harun terang-terangan mengatakan suasana Orde Baru kini kembali terjadi di rezim sekarang. Seolah publik diintai dengan UU ITE. Ia pun mengungkap tudingan rezim terhadap orang-orang yang kritis pada rezim. Misalnya, dituduh menyebarkan ujaran kebencian, penghinaan, dan merusak nama baik. Hal itu diungkap Refly dalam kanal youtube Refly Harun (1 Juni 2020).

Memang belakangan ini UU ITE jadi instrumen hukum yang dijadikan alat kekuasaan untuk mematikan suara-suara kritis yang bermunculan. Sebut saja Said Didu yang dipolisikan karena mengritik kebijakan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Aktivis Yudi Syamhudi Suyuti dan Wartawan Senior Farid Gaban juga dipidanakan karena bersuara sumbang. Mantan Kapten TNI AD Ruslan Buton diciduk begitu saja dan dijebloskan ke penjara karena meminta Jokowi mundur dari jabatan sebagai presiden terkait sejumlah kebijakannya, terutama masalah membanjirnya buruh kasar Cina ke negeri ini, yang dipandang merugikan rakyat, mengancam kedaulatan negara, dan membahayakan eksistensi bangsa.

Yang terbaru adalah teror terhadap narasumber dan penyelenggara seminar tentang pemakzulan presiden yang direncanakan akan digelar di UGM pada 29 Mei. Berbagai orang secara bergantian menggedor rumah narasumber dan mengirim surat ancaman pembunuhan terhadap penyelenggara sejak 28 Mei malam. Anehnya, rezim tidak bereaksi sama sekali. Padahal, diskusi akademik dan kebebasan mengeluarkan pendapat dijamin Konstitusi. Diamnya rezim bisa dianggap sebagai restu terhadap teror itu.

Lebih jauh, kritik adalah hak warga negara dan diperlukan rezim agar dapat menyelenggarakan pemerintahan secara lebih baik. “Kritik dalam demokrasi adalah vitamin dan tugas intelektual. Tugas akademisi adalah memberikan masukan-masukan yang berharga, yang bernas,” kata Refly. Maka aneh ketika seorang dosen UGM sendiri menyamakan seminar itu dengan makar. Dr Bagas Pujilaksono Widyakanigara, penuduh makar itu, diketahui sebagai pendukung fanatik Jokowi. Seminar bertujuan mencerahkan mahasiswa tentang dibolehkannya pemakzulan presiden dintinjau dari sistem ketatanegaraan. Hal ini dikhawatirkan menjadi titik tolak gerakan mahasiswa UGM menentang rezim yang akan diikuti kampus lain.

Ekonom senior Faisal Basri mengamati adanya perubahan dalam sistem berdemokrasi di Indonesia. Menurutnya, demokrasi di negeri ini mengalami kemunduran. Berpendapat pun dibatasi, dilarang. Ini Berbahaya bagi kita. Hal itu dikatakannya dalam acara diskusi yang diselenggarakan Kahmipreneur bertema “Ada Dana Besar BUMN di Balik Rencana Skenario Pew dan New Normal Ekonomi: Bagaimana Dunia Usaha?” (rmolid, 2 Juni 2020).

Dia berharap Indonesia tidak berujung seperti di Cina, despotic leviathan, atau kepemimpinan yang bersifat monster seperti otoritarian, atau apatisme terhadap politik rakyat dengan mengutamakan korporatokrasi. “Karena ada kecenderungan power of state semakin kuat. Ditambah korporasi yang ada dalam RUU Omnibus law dan RUU Minerba. Yang paling mulus adalah agenda-agenda state dan korporasi,” katanya.

Memang rezim Jokowi di periode kedua ini menunjukkan gejala konsolidasi kekuasaan otoritarian dan melindungi kepentingan pemodal. Gejala ini dapat dilihat dari kehendak memberlakukan UU Darurat Sipil dalam menghadapi wabah covid-19. Pemberlakuan darurat sipil dalam kondisi yang tidak memaksa ini dilihat sebagai upaya rezim memberangus demokrasi. Karena itu masyarakat sipil bereaksi keras atas wacana itu.

Hal lain yang bisa dilihat dengan jelas sebagai upaya rezim melakukan konsolidasi kekuasaan otoritarian dan mendahulukan kepentingan kaum oligark adalah Perppu No 1 Tahun 2020 yang kini telah menjadi UU. Perppu itu memberikan kekuasaan sangat besar bagi eksekutif dengan menghilangkan hak pengawasan dan budgeting DPR. Artinya, rezim bebas menentukan besar buget, utang, dan penggunaan budget tanpa pengawasan legislatif. Lalu, RUU Haluan Ideologi Pancasila yang mengantisipasi dan mengkriminalisasi gerakan kontra rezim sebagai kelompok anti-Pancasila. Di luar itu, paling tidak ada lima paket UU yang mendahulukan kepentingan kaum oligark.

Pertama, UU Tax Amnesty yang memutihkan harta koruptor. Kedua, UU yang mengampuni koruptor BLBI. Ketiga, UU Minerba yang memungkinkan eksploitasi lingkungan dan merugikan rakyat tanpa sanksi. Keempat, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang memprioritaskan kepentingan pemodal dengan menindas hak-hak buruh. Kelima, revisi UU KPK yang melemahkan lembaga antirasuah itu. Secara culas rezim berpendapat, kekuasaan KPK yang terlalu besar menghambat investasi.

Dus, wabah pandemi covid-19 yang seharusnya menjadi fokus rezim dalam menyelamatkan rakyat justru dijadikan momentum untuk mengakumulasi kekuasaan negara di satu tangan dan melayani kepentingan kaum oligark. DPR kini powerless. Lembaga ini telah kehilangan fungsinya sebagai wakil rakyat yang mengawasi jalannya pemerintahan. Sebaliknya, ia telah menjadi kepanjangan tangan rezim yang melegitimasi dan melegalkan agenda-agenda rezim dan korporasi. Artinya prinsip checks and balances hilang lenyap.

Kalau kita tidak lawan gejala ini, ke depan akan semakin banyak peraturan dan perundang undangan kontroversial yang akan digulirkan rezim. Yang menghamba pada kaum oligark, mengonsolidasi kekuasaan otoritarian, memberangus demokrasi, dan menindas rakyat. Apalagi, secara mencengangkan kaum intelektual dan akademisi seperti membiarkan berkembangnya gejala ini. Memang rezim telah mencengkram kampus sebagaimana rezim Orde Baru dulu melakukannya.Tetapi seharusnya hal ini dilawan karena mematikan kebebasan berpikir dan bertindak di kampus akan meredup pelita bangsa. Juga mematikan daya kritis mahasiswa.

Ingat, gerakan reformasi diperjuangkan mahasiswa dengan darah dan air mata. Sekarang nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan dengan mahal itu sedang dimatikan oleh rezim. Demi mempertahankan dan memperkuat kekuasaan, pasal-pasal karet dalam UU ITE digunakan rezim untuk membungkam pikiran kritis.

Kalau tidak dilawan dari sekarang, akan semakin banyak anak-anak bangsa yang dijebloskan ke penjara. Dan kita baru akan sadar bahwa nilai-nilai universal demokrasi telah dibajak rezim ketika semua sudah menjadi terlambat. Belajarlah pada sejarah bagaimana rezim Soekarno dan rezim Soeharto mematikan demokrasi secara perlahan. Hal ini nampaknya sedang ditiru rezim Jokowi. Toh, jenderal-jenderal Orde Baru memainkan peran kunci dalam rezim Jokowi.

*CATATAN KRITIS IDe#64
Institute for Democracy Education
Jakarta, 3 Juni 2020