Wartawan Amplop

Oleh: Arief Kusuma Fadholy
Wartawan & Pendidik Tinggal di Yogyakarta

Bagi kalangan media dan wartawan di Indonesia, tidak asing dengan istilah amplop. Amplop merupakan istilah umum dari uang yang diberikan oleh pihak nara sumber atau instansi terkait kepada wartawan atau reporter berkaitan dengan apa yang telah diliput dan akan dijadikan berita. Amplop tersebut bisa mempengaruhi isi berita ataupun juga tidak mempengaruhi.

Dalam KBBI wartawan amplop artinya wartawan yang suka menerima uang atas berita yang dimuatnya. Kenapa digunakan kata amplop? Karena biasanya sejumlah uang tersebut dimasukkan ke dalam amplop. Dalam kehidupan sehari-hari, amplop sendiri selain berposisi kertas surat juga tidak dilepaskan dari uang, terutama saat hari raya, kalau dalam etnis Tionghoa biasa menyebutnya angpao, dan amplop berisi juga biasanya diberikan saat seseorang menyumbang orang lain ketika ada momen-momen tertentu seperti melahirkan, kematian, sunatan, orang sakit, dan sebagainya.

Setiap daerah tidak sama dalam memberikan istilah dari amplop. Misalnya saat saya menjadi wartawan di DKI Jakarta, kawan-kawan wartawan biasa menyebutnya jale, huruf e dibaca sama dengan huruf e di kata enak. Banyak wartawan Jakarta menerangkan, kata jale berasal dari kata jelas. Entah kenapa jelas berubah menjadi jale, mungkin agar maknanya tersamarkan kali ya. Kata jelas sendiri, mungkin juga dipakai karena jelas mendapatkan uang. Perbuatannya biasa disebut ngejale.

Terkait besaran isi amplopnya tergantung orang, organisasi, atau instansi yang memberikannya. Mulai dari di bawah seratus ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Kalau di Jakarta, ada nama khusus untuk sebutan besaran isi amplop tersebut. Kalau angka ratusan ribu rupiah dinamakan liter, sedangkan di angka jutaan disebut galon. Misalnya RP 300 ribu, dinamakan 3 liter, sedangkan Rp 1 juta dinamai 1 galon. Dalam pantauan saya, terkait amplop ini khusus di Jabodetabek, sangat jarang ada yang memberi di bawah 100 ribu.

Terkait pemberian amplop ini, perusahaan media berbeda-beda dalam menanggapinya. Ada yang mengharamkan atau melarang wartawannya di lapangan menerima amplop tersebut dikarenakan dianggap suap dan uang panas. Ada juga media yang tidak melarang ataupun membolehkan, sehingga menerima amplop atau tidak, itu tergantung dari kemauan wartawan. Kemudian Ada yang membolehkan, bahkan menganjurkan.

Biasanya, media yang melarang menerima amplop itu media-media besar yang sudah terkenal dan mapan secara finansial. Media besar yang terkenal biasanya melarang wartawannya mengambil amplop agar tidak terbiasa menerima dan meminta uang dari narasumber atau instansi terkait. Apalagi kalau media tersebut memberikan gaji yang lumayan besar kepada wartawannya. Hal ini dianggap untuk menjaga kredibilitas dan tidak mau disetir oleh instansi atau narasumber yang bersangkutan. Akan tetapi, ada juga media yang memberi gaji standar atau di bawah standar, namun sangat anti dengan penerimaan amplop tersebut.

Media-media yang menghalalkan, bahkan menyuruh wartawannya mencari amplop, biasanya dari segi finansial pas-pesan atau kekurangan. Bisa melalui wartawannya, bisa juga melalui pihak redaksi atau pemilik media. Sehingga suatu media sangat tergantung dengan amplop tersebut.

Terkait wartawan sendiri, ada yang sangat anti dengan amplop tersebut, ada yang menerima kalau dikasih, ada pula wartawan yang meminta-minta bahkan mengancam narasumber yang bersangkutan agar memberi sejumlah uang. Sehingga narasumber atau instansi tertentu terpaksa memberikannya.

Khusus untuk wartawan yang suka memburu amplop, akrab disapa wartawan bodrek. Entah kenapa disebut demikian. Yang jelas tidak ada hubungannya dengan salah satu merek obat kepala itu. Wartawan bodrek bisa disebut juga dengan wartawan gadungan. Wartawan bodrek kebanyakan hanya mengincar amplop semata, urusan berita urutan berikutnya.

Wartawan bodrek ada yang dari media resmi atau diakui Lembaga Pres, ada pula yang abal-abal atau tidak jelas medianya. Wartawannya ada yang muda atau belum berkeluarga, ada juga yang senior atau biasa dipanggil bapak-bapak dan emak-emak. Rata-rata yang berpredikat wartawan bodrek, dahulu pernah menjadi wartawan atau akrab dengan para wartawan, sehingga tahu seluk beluk permainan amplop.

Dari segi narasumber (narsum), ada yang sengaja menyediakannya khusus untuk wartawan. Ada juga yang tidak memberikan, terkait instansi pemerintah pun seperti itu. Kalau yang memberikan, ada yang memberikannya setelah konferensi pers atau acara liputan. Dalam jenis Ini, ada narsum yang mengarahkan angle berita dan ada yang membebaskannya.

Jenis lainnya, ada juga yang memberikan amplop ketika beritanya sudah naik atau diterbitkan di media, kalau tidak naik ya tidak dikasih amplop. Untuk yang jenis yang seperti ini, pemberi biasanya tidak mau rugi atau uangnya pas-pasan. Terkait hal ini, menurut saya masuk dalam jenis jasa. Kalau mau bayaran, ya kerja dulu atau harus ada hasilnya terlebih dahulu.

Di dalam perusahaan media, ada beberapa tingkatan yang biasa bermain amplop. Pertama adalah tingkat paling bawah yakni wartawan yang bekerja lapangan. Kenapa saya sebut paling bawah, karena gaji mereka lebih kecil daripada di atasnya. Kedua adalah orang yang bekerja di kantor dan memiliki pengalaman yang lebih banyak daripada wartawan lapangan, seperti asisten redaktur (asred), redaktur, redaktur pelaksana (redpel), dan pemimpin redaksi (pimred). Dan satu lagi, paling atas yakni pemilik modal atau pemilik media.

Wartawan yang bekerja di lapangan bisa mengambil amplop, namun yang menentukan naik apa tidak dan menentukan angle (sudut pandang) beritanya adalah orang kantor di atasnya. Biasanya yang mengubah dan menaikkan berita adalah asred, redaktur, atau redpel. Kalau ada berita “pesanan”, mereka bisa langsung menaikkannya. Kemudian, yang bertanggung jawab terkait pemberitaan yang paling tinggi adalah pimred. Pimred yang bermain amplop, sangat gampang menaikkan beritanya. Pimred tinggal mengirim release berita ke redaktur, maka langsung naik beritanya.

Kalau pihak atas, mungkin sebutannya bukan amplop lagi. Karena saat ini uang bisa ditransfer melalui mesin ATM. Amplop pun kalau dimasukkan uang banyak pun pasti tidak akan muat. Untuk yang kelas atas, jumlahnya uangnya besar, dan kontinyu melakukannya biasanya disebut player.

Terkait amplop dan player Ini, kawan saya wartawan pernah bercerita. Ia adalah wartawan baru di sebuah media yang berkantor di Jakarta. Dari awal, dirinya dilarang oleh redaktur dan atasannya untuk tidak boleh mengambil amplop dari siapapun. Setelah diselidiki, ternyata redaktur yang menyuruhnya itu dahulu sering mengambil amplop dan saat ini masih melakukannya. Ia juga mendapat info, bahwa redpel dan pimrednya juga sering menjadi player.

Jadi, menurut analisis saya, orang yang melarang mengambil amplop itu belum tentu dirinya benar-benar bersih dari praktek main amplop tersebut. Ada pepatah bilang, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Orang yang melarang sesuatu yang dianggap buruk, sebaiknya juga tidak melakukan keburukan tersebut. Sebaliknya, orang yang menyuruh kebaikan, harusnya juga melakukan kebaikan tersebut. Kalau redaktur melarang tidak mengambil amplop, tapi redaktur itu masih mengambil amplop, ya sama saja bohong. Munafik itu namanya.

Seorang kawan lain yang profesinya wartawan juga pernah curhat terkait amplop. Ia mengaku sering menerima amplop, namun ia merasa uang yang didapatkannya itu cepat habis. Ada yang bilang, itu penyebabnya karena uang dari amplop tersebut kurang berkah dan biasa juga disebut uang panas.

Mereka yang sering menerima amplop, tetapi dilarang oleh perusahaan medianya, ada yang merasa bersalah dan merasa berdosa dalam menggunakan uang amplop tersebut. Kalau yang dibolehkan, mungkin tidak ada perasaan bersalah dan merasa uangnya kurang berkah. Jadi, apakah boleh menerima amplop atau tidak? Itu tergantung pribadi wartawan dan perusahaan medianya. Karena belum tentu juga media yang mengharamkan wartawannya itu mengambil amplop, namun para petingginya menjadi player di belakang.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News