Lebih Baik Jokowi Mundur

Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syehbubakar

Ekonom aktivis Rizal Ramli heran Presiden Jokowi masih gigih mempertahankan kekuasaan di tengah krisis wabah covid-19. Seharusnya Jokowi bersikap negarawan sebagaimana pendahulunya — Soekarno, Soeharto, Habibie, dan Gus Dur — yang legowo dengan membuang ego mereka demi keselamatan bangsa.

Keempat tokoh itu, yang menghadapi krisis politik yang mereka ciptakan sendiri, akhirnya memilih meninggalkan kekuasaan demi mencegah jatuhnya korban yang lebih besar dan menjaga keutuhan NKRI.

Krisis yang tercipta sekarang sebagian besarnya merupakan andil rezim Jokowi yang sejak awal lalai menangani covid-19 dan selanjutnya mengeluarkan beleid-beleid sesat yang menyebabkan corona menyebar dengan cepat. Korban jiwa, sosial, dan ekonomi pun bertambah besar. Nampak jelas, Jokowi tak punya kemampuan menanggulangi pandemi ini.

Maka, mulai bermunculan saran dari parpol dan publik agar presiden melakukan reshuffle cabinet. Bagaimanapun, saran ini keliru karena berasumsi sumber masalah ada pada kinerja para menteri yang tidak maksimal.

Memang kita terkesan para pembantu presiden tidak becus bekerja atau salah ngomong. Namun, karena terjadi berulang kali dan dibiarkan, maka yang bisa disimpulkan adalah ketiadaan leadership dari presiden. Dan karena presiden tak punya visi, para menteri tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Bahkan presiden sendiri yang kerap melontarkan statement yang membingungkan rakyat. Kebohongannya pun sudah tak terhitung banyaknya.

Dus, yang harus dilakukan adalah mengganti presiden bukan merombak kabinet. Hal ini juga yang didesakkan oleh Aliansi Profesional Indonesia Bangkit (APIB). Mereka meminta Jokowi mundur bukan semata-mata didasarkan pada inkompetensinya menanggulangi corona, tapi juga akumulasi kebijakan rezim selama lebih dari 5 tahun, yang tidak prorakyat dan membahayakan NKRI.

Mereka mencatat sejumlah beleid rezim yang tidak memihak rakyat. Sebaliknya, hanya menguntungkan para taipan dan investor Cina. Sebut saja Omnibus Law, Perppu No 1 Tahun 2020, dan RUU Minerba. Sementara RUU HIP yang tidak memasukkan TAP MPRS XXV/1966 sebagai konsideran dipandang membuka jalan bagi munculnya PKI secara legal. Mereka juga kecewa atas membanjirnya TKA Cina ke negeri ini.

Terkait corona, APIB menilai Indonesia merupakan negara paling buruk di dunia dalam menanggulanginya. Selain kebijakan yang simpang-siur dan tumpang tindih, juga tidak konsisten. PSBB diterapkan, tetapi bandara, mall, dan pelabuhan dibuka. Juga diadakan konser musik dengan mengabaikan physical dan social distancing. Jokowi sendiri sudah lempar handuk, dengan mengajak rakyat berdamai dengan corona.

Semua ini membuat penanganan covid-19 akan berjalan lama dan tak menentu, sehingga keselamatan rakyat, ekonomi, dan negara terancam karena menimbulkan keresahan sosial yang luas. APIB berpendapat ini merupakan perbuatan tercela dan pengkhianatan terhadap negara. Karena itu Jokowi harus dimintai pertanggungjawaban.

Sementara itu, hasil survey lembaga Indo Barometer bekerja sama dengan Puslitbangdiklat RRI, yang dirilis pada 26 Mei, menunjukkan mayoritas rakyat tak puas dengan kebijakan rezim menanggulangi corona, kemiskinan, dan pengangguran. Survey dilakukan pada 12-18 Mei di tujuh provinsi: Jabar, Banten, DKI, Jateng, Jatim, Sumut, dan sulsel.

Tak kurang dari 53,8 persen rakyat tak puas dengan kebijakan rezim Jokowi menanggulangi pandemi covid-19. Di antaranya, rezim tidak konsisten, lambat, dan kebijakan presiden dan para menteri sering berbeda. Lalu, penyaluran bansos lamban dan salah sasaran.

Dalam survey ini juga tercatat 84,3 persen rakyat tak puas dengan kebijakan rezim menanggulangi kemiskinan dan pengangguran di tengah wabah pandemi ini. Alasannya, di antaranya, Kartu Prakerja tidak efektif, tidak ada solusi yang tepat bagi penganggur, dan sulit mendapat pekerjaan. Kemudian 74,1 persen rakyat kecewa terhadap penanganan kemiskinan. Alasannya, di antaranya, kemiskinan bertambah, korupsi dana bantuan, penyaluran bantuan lambat, jumlah bantuan tidak mencukupi, dan banyak rakyat miskin yang tidak terbantu.

Ke depan, tidak ada harapan situasi sosial dan ekonomi rakyat akan membaik selama pemimpinnya masih orang yang sama. Lihat, di tengah masih tingginya kasus positif covid-19, rezim Jokowi segera mengeluarkan kebijakan new normal, perubahan pola hidup di mana rakyat dapat berkegiatan seperti semula dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dan physical distancing.

Kebijakan ini bisa dilakukan kalau kurva kasus positif corona sudah melandai. Faktanya, kasus positif covid-19 masih tinggi. Dengan demikian, new normal akan meningkatkan jumlah orang yang akan terinfeksi covid-19 dan menciptakan ekonomi berbiaya tinggi. Nampaknya new normal dipaksakan dengan tujuan menyelamatkan rezim. Dengan new normal, rakyat diharapkan menghidupi dirinya sendiri karena rezim tak bersedia memberi makan mereka sampai kurva kasus covid-19 melandai.

Fokus pada penyelamatan sektor ekonomi ketimbang keselamatan rakyat inilah yang akhirnya melahirkan berbagai kebijakan sesat, termasuk new normal. Pemberlakuan new normal yang belum saatnya hanya akan memperluas ketidakpercayaan publik domestik dan komunitas internasional. Investor asing yang sangat dibutuhkan untuk memulihkan ekonomi tidak akan datang sampai mereka benar-benar yakin rezim Jokowi telah melakukan hal yang benar.

Alhasil, kita tersandera oleh rezim yang tidak kompeten ini. Hampir setiap hari kita dipaksa menelan pil pahit di tengah kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah sangat berat ini. Ke depan, pil-pil yang lebih pahit masih harus kita telan juga. Tapi, rezim harus sadar bahwa kesabaran rakyat ada batasnya. Sangat mungkin pada akhirnya rakyat yang kelaparan dan frustrasi akan mencabut mandat yang diberikan kepada presiden. Maka, sebelum itu terjadi, memang sebaiknya Jokowi mundur untuk memberikan kesempatan pada putra bangsa yang lebih baik untuk menangani masalah yang berat ini. Tahu bahwa dirinya tidak mampu dan menyerah adalah sikap yang terpuji ketimbang ngotot bertahan yang dapat mencelakakan bangsa ini.

CATATAN KRITIS IDe#56
Institute for Democracy Education
Jakarta, 28 Mei 2020