Panggilan Kampret dan Cebong harus Diakhiri

Oleh: Arif Kusuma Fadholy

Pilpers 2019 sudah berakhir, putusan MK sudah dikeluarkan, Jokowi dan Prabowo pun sudah bertemu kembali. Mereka berharap agar semua elemen masyarakat yang sempat terbelah karena Pilpers dapat bersatu lagi. Akan tetapi, anehnya sebutan Kampret untuk pendukung fanatik Prabowo-Sandi dan Cebong untuk pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin sampai tulisan ini ditulis, masih banyak yang memakainya. Sebutan Kampret dan Cebong masih ada penulis temukan di sosial media.

Menurut penulis, panggilan Kampret dan Cebong tidak ada bedanya dengan umpatan-umpatan lain seperti Anjing, Babi, Jangkrik, Jancuk, dan panggilan buruk lainnya kepada orang lain. Panggilan-panggilan negatif itu biasanya timbul dari kekesalan seseorang terhadap sesuatu, bisa subjeknya itu pribadi atau kelompok. Akan tetapi, kedua kata umpatan itu terdengar dan terlihat sangat wajar diucapkan akhir-akhir ini tanpa merasa berdosa dan bersalah.

Seolah-olah Pilpers kali ini menghalalkan masyarakat untuk menggunakan dua nama hewan tersebut untuk sebutan pendukung. Diketahui Kampret adalah kelelawar sedangkan Cebong adalah anak kodok. Sebenarnya kata tersebut tidak negatif atau netral, namun ketika kata itu untuk memanggil seseorang atau kelompok, maka menjadi negatif atau menjadi sebutan buruk. Padahal, dalam agama yang saya anut, memberi gelar atau sebutan buruk kepada orang lain itu dilarang atau dianggap melakukan perbuatan dosa.

Contohnya, dalam ayat alquran QS. Al-Hujurat: 11 yang isinya,“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Baca juga:  RUU HIP: 'Adu Kuat' MUI vs PDIP

Dari ayat di atas, sangat jelas sekali perbuatan merendahkan, menghina, dan memanggil gelar yang buruk kepada orang lain itu dianggap berdosa, bahkan bisa dianggap orang yang zalim. Merendahkan diri sendiri saja dilarang, apalagi merendahkan, memanggil sebutan buruk, dan menghina orang lain.

Jadi bisa disimpukan, masyarakat Indonesia yang terbiasa memanggil orang lain dengan nama Kampret dan Cebong adalah orang-orang yang sadar atau tidak sadar mengumpulkan dosa-dosa. Mirisnya, beberapa orang-orang yang dianggap sebagai tokoh agama, ulama, atau ustadz juga memakai panggilan negatif itu. Otomatis, para jamaah atau pengikutnya juga menirukan hal tersebut dan menganggap sebutan itu wajar-wajar saja atau tidak berdosa.

Apalagi, panggilan buruk itu digunakan di saat bulan Ramadhan, pahala puasnya bisa batal. Bahkan, bisa menghasilkan dosa yang berlipat-lipat. Mereka menganggap dirinya berpuasa, tetapi justru dianggap tidak berpuasa sehingga yang didapatkan hanya kesia-siaan belaka.

Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri sudah berlalu, namun panggulan buruk itu masih saja berkeliaran di sosial media. Padahal, bulan syawal para masyarakat muslim terbiasa mengucapkan saling maaf antar sesama. Idul Fitri seharusnya menjadi momen untuk kembali ke keadaan suci dengan saling memaafkan, tetapi kenyataannya masih banyak orang yang saling menghujat, memaki, dan saling melempar panggilan buruk.

Hubungan Kampret dan Cebong dengan Bencana

Sebaiknya saat ini kata “Kampret” dan “Cebong” sudah tidak dipakai lagi untuk memanggil sesama manusia, sebagaimana kubu 01 dan 02. Saat ini adanya adalah masyarakat Indonesia. Hal itu harus dilakukan agar negeri ini terhindar dari bencana-bencana besar. Apakah ada hubungannya dua kata itu dengan bencana yang ada di Indonesia? Menurut saya ada hubungannya.

Dalam QS. Asy-Syuraa: 30 yang isinya, “Dan apa saja musibah (bencana) yang menimpa kamu, maka adalah oleh perbuatanmu tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” Kemudian Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata, “tidaklah musibah turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.”
Dari ayat dan perkataan sahabat sekaligus keponakan Nabi Muhammad Saw di atas, bisa disimpulkan, perbuatan negatif atau dosa yang dilakukan oleh manusia, bisa menimbulkan bencana atau musibah.

Baca juga:  Kursi Jokowi Digoyang-Goyang

Negeri yang masyarakatnya banyak melakukan dosa, berarti otomatis mengundang bencana datang. Bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami dan sebagainya, serta bencana sosial seperti perang antar suku, konflik antar para penganut agama, dan sebagainya. Kalau panggilan “Kampret” dan “Cebong” kepada sesama manusia bisa disepakati adalah dosa, maka semacan memanggil bencana turun di negeri ini.

Jadi, kedua panggilan tersebut tidak perlu ada lagi dan harus dihilangkan kalau negeri ini ingin aman dari musibah atau bencana. Kita perlu taubat yang sebenar-benarnnya dan tidak mengulanginya lagi, bukan taubat “sambel” yang sekarang mengaku taubat tapi besok dilakukan lagi.

Dengan tidak lagi menggunakan panggilan “kampret” dan “Cebong”, diharapkan masyarakat Indonesia yang sempat terbelah menjadi dua karena Pilpers bisa bersatu kembali. Pilihan berbeda itu biasa, karena Indonesia kaya akan perbedaan. Berbeda itu biasa, namun tetap bersatu dalam perbedaan itu luar biasa. Seperti semboyan Bangsa Indonesia yang tertulis di antara kedua kaki Garuda Pancasila, “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Negeri ini butuh persatuan untuk bergerak maju ke depan untuk Indonesia yang sejahtera dan diridhoi oleh Allah Swt. Islam mengajarkan persatuan, bukan perpecahan. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.