Swasembada Pangan Era Jokowi Hanya Mimpi

Pandemi virus corona baru (COVID-19) memorak-porandakan seluruh aspek ekonomi, tak terkecuali sektor pertanian. Pemerintah terus berusaha meraih kejayaan dengan mimpi swasembada pangan. Apakah hal itu akan terwujud pascapandemi COVID-19?

Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, impian pemerintah untuk swasembada pangan bukan mustahil. Indonesia negara yang lengkap, mulai sumber daya lahan, infrastruktur, bahkan teknologi.

Namun, swasembada pangan di Tanah Air terkendala komitmen politik. Selama ini, kata Said, pemerintah cenderung tidak terlalu serius mengurus urusan pangan. “Yang dibutuhkan itu komitmen politik. Apakah pemerintah kita mau?” kata Said  di Jakarta, Selasa (12/5) dikutip dari Harian Nasional

Menurut dia, hampir semua komoditas pangan di Indonesia bisa dipenuhi dari hasil tanaman petani dalam negeri. Bukan tidak mungkin suatu saat swasembada pangan di Indonesia bisa terjadi.

Saat ini enam komoditas utama masih dipasok dari impor, mulai daging sapi, bawang putih, gandum, kedelai, gula, dan garam. Komoditas tersebut bukan tidak mungkin bisa dipenuhi dari dalam negeri, meskipun harus melalui proses panjang dan inovasi teknologi.

“Gandum secara agroklimatologi masih perlu adaptasi panjang diproduksi di dalam negeri. Walaupun sudah di coba tapi produktivitasnya perlu didorong dengan teknologi,” ujarnya.

Untuk mewujudkan swasembada pangan, salah satunya dengan meningkatkan produksi berkala. Namun, saat ini konsentrasi terbesar pemerintah habis untuk mengejar produktivitas padi. Komoditas pangan lain terbengkalai.

Alih-alih hendak meningkatkan jumlah produksi dengan berbagai macam cara, kata dia, pemerintah justru melupakan kesejahteraan pelaku ekonominya. Jor-joran dana dan seabrek program, nyatanya tidak mampu mendongkrak kesejahteraan petani.

Sejak awal tahun 2020, nilai tukar petani (NTP) terus menurun. Ini bukti nyata pemerintah gagal menyejahterakan petani. Menurut dia, kesejahteraan akan mendorong minat petani memproduksi komoditas pangan. Bahkan, tanpa bantuan subsidi dari pemerintah sekalipun.

Said mengatakan, pemerintah harus meningkatkan produksi tanpa melupakan jerih payah petani. Di sisi lain, keterimpitan ekonomi petani memicu alih fungsi lahan pertanian.

“Bagaimana mungkin membicarakan swasembada pangan kalau lahannya tidak diurus. Ke depan perlu reorientasi berpikir,” katanya.

Sebelum bermimpi swasembada pangan, pemerintah harus lebih berpihak kepada petani dengan mengembangkan dan mendorong petani melakukan proses produksi berkelanjutan.

“Kalau segala fondasi bisa dilakukan sesegera mungkin, dalam dua tahun Indonesia bisa meraih impian tersebut.”

Pemerintah mengklaim stok beras Indonesia saat ini kurang lebih 6 juta ton. Angka tersebut dihitung melalui perkiraan produksi serta tambahan stok pada periode sebelumnya yang diperkirakan mencapai 11 juta ton. Dari perhitungan tersebut, angka konsumsi nasional hanya sekitar 7,9 juta ton.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengaku optimistis dengan ketersediaan beras tahun ini. Dia juga yakin pemerintah mampu menstabilkan harga pangan dan memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia dengan baik.

“Semua ketersediaan 11 bahan pokok aman terkendali. Stok pangan kami, khususnya beras, cukup aman dan cukup terkendali,” kata Syahrul.

Menurut dia, masyarakat tak perlu khawatir dengan ketersediaan bahan pokok tahun ini. Pemerintah sudah menghitung kebutuhan dan pengeluaran pangan Indonesia.

“Hitungan neraca perdagangan kita cukup. Sebelas kebutuhan bahan pokok kita seperti daging, beras, cabai, jagung, dan minyak juga cukup,” ujarnya.

Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian (Kementan) Andriko Noto Susanto mengatakan, swasembada pangan meliputi banyak komoditas. Ada beberapa komoditas yang agak sulit diswasembadakan dalam waktu dekat.

Komoditas seperti beras, bawang merah, jagung, cabai, minyak goreng, telur, dan daging ayam, kata Andriko, dipastikan sudah swasembada. “Namun gandum, bawang putih, kedelai, daging sapi, dan gula masih panjang untuk swasembada,” ujarnya.

Untuk menghentikan ketergantungan gandum, kata dia, Kementan mengembangkan pangan lokal, seperti ubi kayu. Ke depan diharapkan bahan baku membuat terigu tidak lagi menggunakan gandum, tapi bisa dengan ubi kayu.

Untuk bawang putih, Kementan telah menggunakan teknologi agar komoditas tersebut bisa tumbuh subur di Indonesia tanpa harus mengeluarkan modal tinggi. Sehingga, dari sisi harga bisa bersaing dengan bawang putih impor.

Terkait daging sapi, Indonesia bisa mengganti swasembada daging sapi dengan swasembada protein. Mengingat, kebutuhan protein bisa dipenuhi dari panganan lainnya seperti telur, ikan, tahu, dan tempe.

“Untuk kebutuhan gizi yang hubungannya dengan ketahanan pangan, yang dibutuhkan bukan dagingnya, tapi nilai gizinya. Kalau swasembada protein saya yakin bisa,” kata dia.

Meskipun sejumlah upaya sudah dikerahkan menuju swasembada pangan semua komoditas, Andriko belum bisa memastikan kapan hal itu terjadi. Namun yang pasti, Indonesia bisa swasembada pangan di semua komoditas. “Kecuali memang yang tidak bisa tumbuh di sini,” ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan, tidak akan mungkin Indonesia swasembada pangan meski masih memungkinkan terjadi.

“Tidak semua komoditas bisa swasembada. Bawang putih dan gandum masih 100 persen impor,” kata Andreas.

Menurut Organisasi Pangan Dunia (FAO), sebuah negara bisa swasembada jika bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Kalau beras, kata Andreas, sudah sejak lama 90 persen kebutuhan masyarakat dipenuhi dari dalam negeri.

Kalaupun Indonesia pernah importasi beras, jumlahnya tidak melebihi 3 juta ton. Itu artinya, Indonesia sudah mampu swasembada beras. Kalau bermimpi swasembada di semua komoditas pangan, Indonesia belum siap dan belum mampu.

Saat ini, konsumsi gandum di Indonesia sudah hampir 30 persen. Apalagi, masyarakat Indonesia saat ini perlahan meninggalkan beras dan beralih ke gandum. “Setiap tahun beras diganti gandum sekitar 150-200 ribu ton. Apalagi produksi beras tahun ini diprediksi menurun,” ujar dia.

Begitu juga dengan bawang putih. Selain harga bawang putih impor murah, kualitasnya mengalahkan produk lokal. Bawang putih produksi Indonesia tidak akan bisa bersaing dengan impor.

Andreas menyarankan pemerintah menaikkan tarif impor hingga 100 persen untuk memacu swasembada pangan. Namun, sejauh ini pemerintah tidak pernah berani melakukan hal itu.

Di sisi lain, pemerintah tidak bisa serta-merta menutup keran impor pangan 100 persen. Negara pengimpor akan membalas dengan melarang bahan pangan asal Indonesia. “Tarif impor produk pangan sekitar 0-5 persen. Kalau tidak berani memberikan insentif berupa menaikkan tarif impor, saya jamin tidak akan bisa swasembada pangan,” katanya.