Habib Bahar Ditakuti Rezim Jae

Penulis: Smith Alhadar
Editor : Abdurrahman Syebubakar

Setelah dibebaskan Sabtu (16 Mei) sore, Habib Bahar bin Smith ditangkap lagi pada Selasa (19 Mei) dini hari di pesantrennya, Tajil Alawiyyin, Kemang, Kabupaten Bogor. Konon, ia melanggar ketentuan asimilasi. Setelah bebas, ia berceramah di hadapan jamaah di pesantrennya dengan tidak menerapkan physical distancing.

Habib Bahar kembali dibawa ke Lapas Gunung Sindur. Memang ia belum bebas murni dan sedang menjalani program asimilasi. Penjemputan itu mirip penangkapan teroris, dilakukan dini hari, dengan pasukan bersenjata lengkap.

Bagaimanapun, alasan penangkapan itu aneh. Pasalnya, rezim sudah melonggarkan PSBB sehingga kita melihat manusia berjubel di Bandara Soekarno-Hatta tanpa menerapkan protokol kesehatan. Di pasar dan di banyak tempat lain kerumunan massa sudah terjadi. Dan paling-paling aparat hanya membubarkan mereka. Maka harus ada penjelasan lain mengapa Habib Bahar ditangkap kembali dengan cara yang menimbulkan kengerian.

Sangat mungkin ini terkait dengan isu-isu yang sedang hangat saat ini, seperti masalah konser musik yang dikecam sebagian umat Islam, pembahasan Haluan Ideologi Pancasila di DPR yang menimbulkan kecurigaan umat Islam bahwa ajaran komunisme sedang diusahakan dilegalkan di Indonesia, dan masuknya TKA Cina yang menimbulkan kecaman luas. Dan Habib Bahar melawan rezim dalam tiga isu ini.

Sebenarnya, rezim tak perlu takut dengan Habib Bahar. Kesalahan dia mengumpulkan massa tak usah dihadapi berlebihan. Cukup bubarkan massa sebagaimana sering dilakukan aparat terhadap acara-acara sosial, seperti pesta perkawinan.

Kalau materi ceramahnya yang jadi persoalan, mestinya Habib Bahar tidak dijebloskan lagi ke penjara. Indonesia adalah negara demokrasi yang diperjuangkan dengan darah mahasiswa. Sekeras apa pun ceramah disampaikan seseorang, selama tidak memfitnah, tetap saja itu adalah kebebasan mengeluarkan pendapat yang dijamin konstitusi.

Di negara-negara demokrasi yang telah berkembang penuh, kebebasan paling ektrem pun dibiarkan sepanjang hal itu tidak mengganggu kebebasan orang lain. Niat jahat yang masih dalam pikiran, misalnya niat membunuh presiden yang diucapkan di depan umum, tetap tidak dapat dihukum sepanjang niat itu tidak diikuti tindakan. Paling-paling badan intelijen mengawasi orang tersebut tanpa mengganggu kebebasannya.

Dengan menggunakan aparat untuk membungkam kebebasan berpendapat warga, sebenarnya rezim sedang melakukan proses pembusukan demokrasi lebih lanjut. Di era kepresidenan Jae ini memang indeks demokrasi Indonesia merosot tajam. Lebih dari 200 orang telah dipenjarakan rezim sejak 2014 dengan berbagai dalih. Bahkan, ada yang ditelantarkan di luar negeri. Semuanya adalah orang-orang yang kritis terhadap rezim.

Belum lama ini telegram Kapolri bocor ke publik terkait dengan perintah mengawasi orang yang dipersepsikan menghina presiden dan pejabat tinggi lainnya. Kata menghina ini tentu akan ditafsirkan semau gue oleh polisi tergantung persepsi bahaya di mata polisi. Tindakan represif rezim ini dikhawatirkan akan menyeret Indonesia ke era yang jauh lebih sadis daripada rezim orla dan orba.

Tanda-tanda itu sudah terlihat jelas. Misalnya tuntutan hukum Opung terhadap Said Didu yang mengkritik kebijakan Opung. Musisi Dhani dipenjarakan hanya karena menyebut kata “idiot”. Lalu, pemenjaraan Kivlan Zein dan Sri Bintang Pamungkas yang dituduh makar, padahal syarat makar itu belum terpenuhi. Dan banyak lagi kasus sumir yang dituduhkan kepada tokoh oposisi, termasuk penelantaraan Habib Rizieq Shihab dan keluarganya di luar negeri.

Kasus Habib Bahar ini lebih jauh menunjukkan gigi taring rezim dalam mematikan suara kelompok oposisi. Nampaknya, seiring dengan makin amburadulnya rezim mengelola negara di tengah pandemi covid-19, semakin agresif rezim mematikan oposisi. Rezim takut dengan bayangannya sendiri.

Biarkan seribu bunga berkembang, anak-anak bangsa yang peduli pada keselamatan rakyat, bangsa, dan negara. Pikiran yang konyol tak akan diikuti rakyat, sementara pikiran yang cerdas yang muncul dari kritisisme sangat diperlukan rezim sebagai lawan debat agar masyarakat senantiasa dicerahkan dan tersedia jalan terang hasil perdebatan untuk diikuti rezim, sehingga Indonesia menjalani proses kematangan demokrasi.

Dengan penahanannya, Habib Bahar menjadi ikon yang terzalimi. Siapa pun dia, akan selalu menarik simpati publik. Sebaliknya, rezim terlihat seperti angkara murka yang siap menelan anak bangsanya sendiri. Yang harus diperhatikan rezim, semakin banyak warga yang ditindas, semakin besar perlawanan terhadapnya.

Belajarlah pada kejatuhan rezim Soeharto. Meskipun berhasil melaksanakan pembangunan ekonomi, rezim yang kokoh itu runtuh bagai rumah kartun oleh rakyat yang dendam terhadap tindakan represifnya. Ingat, rezim Jae belum berjasa bagi bangsa dan negara. Bahkan sebaliknya, telah menyengsarakan rakyat dan menghamba pada kepentingan pemodal. Karena itu, rawan dijatuhkan rakyat yang sedang menderita ini.

*CATATAN KRITIS IDe#48
Institute for Democracy Education
Jakarta, 19 Mei 2020