Iuran BPJS Naik dan Wajah Polos Jae yang Menipu

Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syehbubakar

Hati-hati dengan wajah polos! Wajah tidak mencerminkan watak seseorang. Lihat wajah Jae! Wajah ndeso yang terkesan polos dan tulus. Tapi wataknya jahat: tega memeras rakyat dan berani menelikung hukum. Hal seperti ini sudah terjadi berulang kali sejak Jae memimpin negara lebih dari lima tahun terakhir.

Misalnya, Jae menutupi fakta adanya kasus positif covid-19 di Indonesia sejak Januari dengan mengatakan corona tidak masuk ke Indonesia. Akibat kebohongan ini, corona menyebar secara bebas di negeri ini selama lebih dari dua bulan. Akhirnya corona sulit ditanggulangi dan hingga hari ini sudah lebih dari 1.000 orang warga meninggal sia-sia.

Sebelumnya, untuk menenangkan rakyat yang mengkredit motor dan mobil untuk keperluan ojol, Jae menyatakan rezim menangguhkan pembayaran kredit selama setahun, ternyata bohong. Bank kreditor tetap memerintahkan debt collector menagih pembayaran iuran bulanan. Alhasil, tak dapat dihitung lagi kebohongan yang diproduksi Jae tanpa rasa bersalah.

Yang paling terakhir, Jae kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Ini bukan saja langkah jahat untuk memeras rakyat, tapi juga menabrak hukum. Pada 2019, Jae menaikkan iuran BPJS Kesehatan 100 persen. Namun, pada Februari 2020 Mahkamah Agung membatalkan beleid itu.

Sebenarnya mendapatkan pelayanan kesehatan gratis merupakan hak rakyat yang diwajibkan Konstitusi. Tapi ketika rezim Jae memungut biaya dari rakyat demi pelayanan kesehatan, rakyat menoleransi, meskipun bagi sebagian besar masyarakat, besaran iuran yang ditetapkan rezim sudah terasa sangat berat.

Kini, di tengah wabah covid-19 yang menjungkirbalikkan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, bukannya mengangkat beban BPJS Kesehatan dari pundak rakyat, Jae malah meningkatkan beban itu.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, tindakan Jae itu bisa dianggap sebagai disobedience of law (pengabaian hukum). Sebab, itu sama saja dengan menentang putusan pengadilan, kata Feri kepada Kompas.com, 13 Mei 2020.

Jae, dengan wajah polosnya, menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres No 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No 82 tentang Jaminan Kesehatan. Padahal, menurut Feri, putusan MA bersifat final dan mengikat bagi semua orang, termasuk presiden.

Agar tak dilihat sebagai pelanggaran hukum, Jae secara licik berusaha menghindari kemungkinan jeratan hukum dengan menaikkan iuran BPJS — tertuang dalam Perpres No 64 Tahun 2020 — dengan sedikit mengubah nominalnya dibanding kenaikan sebelumnya. Namun, menurut Feri, langkah mengecoh itu tetap tidak dapat dibenarkan. Karena putusan MA bernomor 7/P/HUM/2020 itu pada pokoknya melarang rezim menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Langkah ini menunjukkan pundi-pundi rezim telah mengering akibat menurunnya penerimaan dari pajak. Di pihak lain, rezim harus menyelenggarakan Jaring Pengaman Sosial. Tetapi tetap saja langkah itu tak bermoral. Bansos juga menjadi kurang bermakna. Bansos bertujuan menaikkan daya beli masyarakat sebagai stimulus ekonomi untuk menjaga konsumsi masyarakat tetap tinggi.

Tetapi dengan kenaikan iuran BPJS, daya beli masyarakat anjlok lagi. Perlu diingat bahwa akibat hantaman covid-19, mereka yang sebelumnya masuk ke dalam kategori kelas menengah yang menjadi sasaran iuran BPJS, kini sebagiannya telah jatuh ke dalam kategori kelas bawah. Dengan demikian, kenaikan BPJS akan lebih jauh memiskinkan mereka.

Nampak jelas, rezim Jae tak sungguh-sungguh ingin meringankan kesulitan ekonomi yang membelit rakyat. Itu juga terlihat dari kengototan rezim mempertahankan harga lama BBM ketika harga minyak dunia telah anjlok secara signifikan. Padahal, biaya BBM termasuk dalam komponen utama dalam struktur pengeluaran rumah tangga.

Baik kebijakan harga BBM maupun kenaikan iuran BPJS Kesehatan lebih berorientasi pada upaya rezim mempertahankan kekuasaan. Jadi, wajah polos Jae adalah wajah yang digunakan untuk mengelabui niat-niat tersembunyinya. Wajah yang menyembunyikan ambisi besar dan kerakusan kekuasaan.

Sebenarnya wajah yang terkesan polos dan tulus itu mengandung bahaya. Karena orang terus-menerus tersihir oleh wajah itu, dan daya kritis masyarakat lenyap. Demikian juga akal sehat. Ini juga yang menjelaskan mengapa sebagian rakyat tetap mendukung Jae tanpa reserve, meskipun kerusakan negara dan penindasan atas rakyat berlangsung secara kasat mata.

Malah pendukungnya rela ditipu dan ditindas Jae secara terus-menerus. Sementara para pengkritiknya dimusuhi dan dibully. Mereka lupa bahwa mengkritik Jae yang memang banyak berbohong dan tak kompeten mengelola negara bukan saja perlu, tapi juga niscaya. Hanya dengan cara ini kita dapat mengontrol rezim yang cenderung korup. Lihat, akibat Jae didukung secara fanatik tanpa sedikit pun pikiran kritis, negara ini mengalami kerusakan parah. Sudah begitu, tidak ada satu pun kebaikan Jae untuk para pendukungnya yang sudah tersihir oleh wajah polosnya.

Bagaimanapun, beleid menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan akan berdampak jauh pada legitimasi Jae. Karena yang terdampak adalah pendukung Jae juga, mestinya kali ini mereka tersadar bahwa wajah polos bukanlah karunia, tapi musibah bagi rakyat.

Mudah-mudahan dalam pemilu-pemilu mendatang kita tidak memilih calon pemimpin berdasarkan pertimbangan emosional, tapi rasional. Sehingga kita terhindar dari memilih calon pemimpin semacam Jae. Sudah bodoh dan licik, jahat kepada rakyat kecil lagi.

*CATATAN KRITIS IDe#40*
*Institute for Democracy Education*
Jakarta, 14 Mei 2020