RUU Omnibus Law Ciptaker Berpotensi Kacaukan Sistem Jaminan Produk Halal

Serpong – Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, Mulyanto menilai isi RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) berpotensi kacaukan sistem jaminan produk halal. Padahal ketentuan pengurusan jaminan produk halal sudah diatur secara baik dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pemerintah tinggal melaksanakan sebagai ketentuan yang sudah ditetapkan.

Setidaknya, menurut Mulyanto, ada 3 ketentuan dalam RUU Ciptaker yang dapat mengacaukan sistem jaminan produk halal. Pertama, penentuan lembaga berwenang dalam menetapkan produk halal. Kedua, penetapan sertifikat halal produk UMKM dan usaha kecil berdasarkan “pernyataan”. Ketiga, dihapuskan lembaga auditor halal dan penyelia halal.

Dalam RUU Ciptaker, sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) didasarkan pada fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI dan Ormas Islam yang berbadan hukum. Jadi penetapan kehalalan produk dapat diterbitkan ormas Islam terdaftar apapun. Konsekuensinya MUI tidak lagi menjadi otoritas tunggal dalam soal fatwa halal ini.

“Bagi masyarakat, banyaknya otoritas pemberi fatwa halal ini, akan menimbulkan keraguan dan kebingungan, yang pada akhirnya dapat memunculkan ketidakpastian hukum dan ketidakpercayaan kepada penyelenggara jaminan produk halal. Ini harus kita timbang dengan cermat,” jelas Mulyanto.

Selain itu, kata Mulyanto, kemudahan pemberian wewenang mengeluarkan sertifikat halal kepada ormas terdaftar dapat memicu perbedaan pendapat akibat perbedaan pemilihan dalil dan metode penelitian. Jika kondisi ini dibiarkan umat Islam selaku konsumen akan bingung menentukan pilihan.

Terkait penetapan sertifikat halal bagi produk UMKM yang hanya didasarkan pada “pernyataan” sepihak dari pihak pengusaha, hal ini juga akan menjadi masalah baru. Bagi Mulyanto, harusnya setiap produk yang ingin mendapat sertifikat halal wajib melakukan proses pengujian. Jadi halal dan tidaknya suatu produk UMKM bisa dijamin berdasar hasil penelitian.

“Pertanyaannya, apakah sebuah pernyataan subyektif secara sepihak dari pengusaha kecil dan mikro tersebut dapat memberikan “jaminan” kepada masyarakat luas konsumen, bahwa produk itu benar-benar halal. Dengan kata lain apakah sekedar pernyataan saja dapat memberikan jaminan.

Tentu ini merupakan kondisi yang cukup beresiko untuk menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan konsumen, yang akhirnya dapat menurunkan permintaan kepada usaha kecil dan mikro tersebut,” tanya Mulyanto retoris.

Sebenarnya, lanjut Mulyanto, bila Pemerintah ingin memberikan fasilitasi sertifikasi halal bagi UMKM, Pemerintah dapat melakukan revisi PP No. 31/2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal. Tidak harus mengubah substansi masalah di tingkat UU.

Sedangkan terkait penghapusan lembaga Auditor Halal dan Penyelia Halal, Mulyanto menganggap upaya ini akan memperlemah sistem pengawasan proses penetapan jaminam produk halal. Padahal, Auditor Halal dan Penyelia Halal memiliki fungsi kritikal terhadap penetapan fatwa halal dan pengeluaran sertifikasi halal, sehingga persyaratan minimal Auditor Halal sudah sepantasnya diatur dalam UU Jaminan Produk Halal, bukan dalam Peraturan Pemerintah.

“Masalah-masalah itu harus dibahas secara komprehensif, mendalam dan cermat oleh semua pihak yang terkait. Tidak boleh grasa-grusu dan sikap menggampangkan. Kita butuh suasana yang tenang. Masak membahas hal besar seperti ini hanya melalui rapat secara virtual. Sebab masalah ini berkaitan langsung dengan rasa aman bagi masyarakat Muslim Indonesia.

Jika kita tidak seksama membahas pokok masalah tersebut, maka kita hanya akan menuai kondisi ketidakmampuan Negara dalam melindungi dan menjamin rasa aman dan keyakinan konsumen Muslimin. Ini tentu tidak kita kehendaki,” ujar mantan Inspektur Jenderal Departemen Pertanian ini.

[subhan/kontributor]