PKS: Tolak Bahas Omnibus Law Ciptaker

Serpong (30/4) – Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, Mulyanto, menegaskan partainya konsisten keberatan untuk ikut membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker), meskipun Pemerintah dan DPR RI sepakat menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan tapi tetap membahas klaster lain.

PKS menilai RUU setebal lebih dari 1.000 halaman ini dan akan mengubah tujuh puluh lebih UU adalah pekerjaan besar, serius dan penuh resiko. Ini belum pernah terjadi dalam sejarah perundangan kita, satu RUU akan mengubah hampir seratus UU. Biasanya satu RUU hanya mengubah satu UU. Karenanya tidak ada dasar hukum yang mengatur soal omnibus ini. Tidak ada di dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15/2019.

Sementara saat ini situasi kita, sesuai Keputusan Presiden No. 12/2020, adalah dalam kondisi Bencana Nasional. Semua tenaga dan pikiran difokuskan untuk menanggulangi darurat Covid 19.

“Kalau dipaksakan, bukan tidak mungkin PKS akan menolak RUU Ciptaker ini. Karena secara substansi RUU ini terlalu berpihak pada pengusaha dan merugikan rakyat kecil, terutama buruh,” tegas anggota Badan Legislasi DPR RI ini.

Sedikitnya ada 4 masalah pokok yang mengganjal dalam RUU Ciptaker ini. Pertama, soal peraturan ketenagakerjaan yang dinilai merugikan pekerja lokal dan menguntungkan pekerja asing. Kedua, soal kewenangan daerah yang akan terpangkas. Ketiga, soal kelonggaran bagi pengusaha dan investor asing asing yang berlebihan sehingga mengancam kedaulatan ekonomi. Dan keempat, soal pemangkasan kewenangan lembaga legislatif.

Soal sistem ketenagakerjaan, PKS menilai ada beberapa poin yang sangat merugikan pekerja lokal. Misalnya, hilangnya ketentuan upah minimum, berkurangnya nilai pesangon, penggunaan tenaga alih daya (outsourching) tanpa batas untuk semua jenis pekerjaan, pemberlakuan sistem kerja kontrak diperluas, serta terancam hilangnya jaminan sosial.

Sementara ketentuan bagi pekerja asing justru dipermudah seperti perusahaan diperbolehkan menggunakan tenaga kerja asing untuk pekerjaan yang tidak perlu keahlian khusus (unskill workers), dihapusnya syarat Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), tidak diperlukan standar kompetensi TKA, dihapuskan kewajiban pengadaan tenaga pendamping bagi TKA dengan jabatan tertentu, dihapusnya larangan bagi TKA untuk menjadi pengurus di lembaga penyiaran swasta serta dihapusnya syarat rekomendasi dari organisasi pekerja profesional bagi TKA ahli di bidang pariwisata

Sementara terkait kewenangan pemerintah daerah, PKS melihat ada beberapa ketentuan yang akan merugikan daerah seperti hilangnya hak daerah dalam penyusunan tata ruang daerah, ditariknya izin penyelenggaraan usaha minerba ke pemerintah pusat, dihilangkannya peran Pemda dalam penyelenggaraan tenaga listrik, dihilangkannya kesempatan BUMD menjadi pelaku penyedia tenaga listrik, ditariknya izin usaha pariwisata ke pemerintah pusat, dan banyak lagi.

PKS juga menyoroti kemudahan bagi investor asing yang dinilai tidak wajar dan berpotensi merusak lingkungan seperti, memungkinkan seseorang atau badan hukum untuk menggunakan hak pengusahan perairan pesisir untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, dihilangkan syarat wajib daftar perusahaan, perubahan perpanjangan izin kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) menjadi perizinan berusaha tanpa proses lelang, hilangnya sanksi pidana bagi pengusaha, diubahnya batas maksimal dan minimal ketentuan modal asing pada beberapa bidang usaha strategis. Padahal kewjiban divestasi modal asing minimal 51% ini sudah sangat baik terkait dengan kedaulatan ekonomi nasional.

Pada bagian lain PKS juga menyoroti beberapa hal yang dianggap dapat menghilangkan hak DPR dalam pengambilan keputusan seperti diubahnya ketentuan pemindahtanganan aset negara dan persetujuan investasi tanpa izin DPR, dihilangkan hak DPR untuk mendapat pemberitahuan secara tertulis semua kontrak kerjasama yang sudah ditandatangani Pemerintah dan dihilangkannya peran DPR dalam penyusunan rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN).

“Keempat masalah besar itu harus dibahas secara komprehensif, mendalam, dan cermat oleh semua pihak yang terkait. Tidak boleh grasa-grusu dan sikap menggampangkan. Kita butuh suasana yang tenang. Masak membahas hal besar seperti ini hanya melalui rapat secara virtual. Sebab keempat masalah ini berkaitan langsung dengan sistem kedaulatan negara kita, sistem demokrasi, sistem otonomi daerah, dan rasa keadilan masyarakat.

Jika kita tidak seksama membahas pokok masalah tersebut, maka secara tidak langsung kita telah menggadaikan kedaulatan bangsa ini ke pihak pengusaha atas nama cipta kerja,” ujar mantan Inspektur Jenderal Departemen Pertanian ini.

[subhan/kontributor]