Jae, Lockdown dan Kebohongan yang Tiada Henti

Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syebubakar

Dalam acara Mata Najwa, 22 April, Jae berbohong lagi dengan penuh percaya diri tanpa rasa bersalah seperti kebiasaannya selama ini. Ia mengatakan tidak ada negara di dunia yang berhasil menangani covid-19 dengan kebijakan lockdown. Karena itulah ia hanya memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar, bukan lockdown, sebagai jalan tengah yang ideal untuk menangani covid-19 sekaligus menjaga kehidupan ekonomi.

Tentu saja ia berbohong. Pertama, PSBB tidak akan efektif menghentikan corona dan ekonomi tak akan juga membaik. Kedua, Vietnam, negara tetangga yang miskin, secara gilang-gemilang berhasil menangani virus corona dengan lockdown tanpa seorang pun warganya yang meninggal. Tapi yang mengherankan, juga menyedihkan, bukan dusta Jae, tapi toleransi kita pada kebohongannya yang tiada henti.

Di negara-negara barat yang kurang peduli pada agama, akhlak yang baik menjadi prasyarat utama calon pemimpin. Meskipun syarat ini tak selalu berhasil dipenuhi pemimpin, namun masyarakat tetap menjadikan akhlak yang baik, seperti sikap jujur, sebagai pedoman mereka menjatuhkan pilihan pada calon pemimpin bangsa.

Di AS, misalnya, kita menyaksikan kehebohan besar ketika Presiden Bill Clinton terlibat skandal seks dengan pembantunya di Gedung Putih, Monica Lewinsky. Capres George W Bush terpaksa sibuk mengklarifikasi kehidupan kelam masa lalunya yang dituduh mabuk-mabukan. Capres Donald Trump menjadi target kecaman publik atas hobinya melecehkan wanita. Yang dilakukan mereka ini adalah masalah privat, bukan berbohong, toh publik tak bisa menerimanya. Dan ketika Donald Trump kerap berbohong, masyarakat Amerika, terutama, kelompok kelas menengah dan para cerdik cendiaka mengencam sangat keras tanpa ampun. Tidak tanggung tanggung mereka menyebut Donald Trump seorang fasis.

Sementara, yang dilakukan Jae justru membohongi publik berulang-ulang dan tak ada sanksi publik terhadapnya. Kita bangga menjadi bangsa yang permisif dan toleran yang salah tempat sehingga kejahatan dan korupsi merajalela di negeri ini. Ketika koruptor tertangkap, masyarakat menganggapnya apes, bukan mengecam tindakannya. Koruptor pun tampil di televisi sambil cengar-cengir dan ia dikunjungi keluarga dan teman-teman untuk mengungkapkan simpati pada kesialannya.

Pada pilpres 2014 Jae bisa terpilih karena dukungan melimpah dari media arus utama dengan mengangkat prestasi-prestasinya ketika menjadi Walikota Solo — belakangan ketahuan bohong belaka — tidak dipublikasikan karakternya yang sejati. Malah, dia dipoles sebagai orang yang cerdas, jujur, sederhana, dan kerakyatan. Lagi-lagi, belakangan terbukti semua itu hanya isapan jempol.

Jae memang tidak jujur, tidak sederhana, tidak cerdas, dan tidak kerakyatan. Yang sederhana hanya pikiran dan seleranya. Memang cita-citanya besar, ingin dikenang sebagai presiden hebat, tapi cita-cita itu tidak realistis, tidak didukung kapasitas pikirannya.

Baik, publik Indonesia mungkin tidak mengetahui karakter Jae yang sesungguhnya pada 2014. Tapi, kalau berdasarkan standar minimal yang harus dimiliki presiden — seperti kejujuran — mestinya Jae tak terpilih lagi pada 2019. Dalam konteks ini, Wowo jauh lebih jujur dan berkarakter. Bahkan, saking polosnya, ia sering dikerjain teman dan orang-orang di dekitarnya, termasuk Jae.

Dalam debat capres, Jae terang-terangan berbohong tentang ketiadaan kebakaran hutan selama ia menjadi presiden. Padahal, hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatera menjadi gundul dan dimarahi negara tetangga disebabkan kebakaran hebat selama kepresideannya.

Kendati sering berbohong selama lima tahun ini, sampai-sampai hilang selera makan kita, publik tetap menoleransi, seakan-akan tidak terjadi apa-apa pada Jae. Seolah-olah kejujuran, yang menjadi kunci bagi terselesainya banyak masalah besar bangsa, bukan masalah penting.

Yang membuat masalah makin sulit terkait Jae, kebohongan dan kebodohan bercampur jadi satu. Dalam konteks Vietnam, kita tidak tahu apakah dia sengaja berbohong atau karena kebodohannya. Sangat mungkin kedua-duanya.

Menurut Dubes Indonesia untuk Vietnam, Ibnu Hadi, lockdown Vietnam berhasil dengan gemilang karena rezim di sana segera mengantisipasinya ketika covid-19 baru saja merebak di Wuhan, Cina. Ketika itu, Jae dan anak buahnya menyembunyikan kebenaran yang disertai kebohongan habis-habisan. Menurut Ibnu Hadi, pemimpin Vietnam cukup jujur kepada masyarakatnya mengenai corona meskipun mereka tak percaya adanya Tuhan.

Yang juga mengejutkan kita, sebagai sesama anggota ASEAN, kepala negara kita tidak tahu apa yang terjadi dengan anggotanya terkait corona. Kalau kita anggap Jae tahu — sudah seharusnya tahu karena seluruh anggota ASEAN pasti saling berkoordinasi — berarti dia berbohong kepada kita. Kalau Jae benar-benar tidak tahu berarti dia bodoh. Tapi lebih aman kita menganggapnya pembohong sekaligus bodoh, biar kita tidak selalu dibingungkannya. Dan biar kita bisa tidur enak tanpa terbebani oleh perasaan telah dibodohi dan dibohongi.

Pekerjaan rumah besar kita sekarang ini adalah menanamkan nilai-nilai kejujuran di masyarakat. Bahwa masyarakat harus menjadikan kejujuran sebagai pedoman memilih pemimpin. Juga sikap intoleran kepada akhlak yang buruk. Karakter jujur harus menjadi prasyarat bagi Capres dan calon-calon pemimpin daerah.

Media arus utama harus berbenah diri untuk tidak lagi menyembunyikan sisi buruk dari calon pemimpin sebagaimana yang mereka lakukan untuk Jae. Mereka melakukannya berdasarkan pertimbangan bisnis, bukan demi kebaikan bangsa. Yang juga harus jadi pertimbangan adalah kapasitas pikiran calon pemimpin. Dengan begitu, setidak-tidaknya negara lebih terjamin aman dan kita tak terlalu tersiksa lahir batin selama lima tahun terakhir, dan barangkali lima tahun ke depan lagi karena kebohongan Jae tiada henti.
__________

CATATAN KRITIS IDe#17
Institute for Democracy Education
Jakarta, 26 April 2020