Gurihnya Bisnis Masker di Tengah Pandemi Corona

Peka terhadap kebutuhan masyarakat di tengah pandemi virus corona baru (COVID-19) menjadi salah satu penentu bagi pebisnis toko daring melakukan diversifikasi. Salah seorang di antaranya, Naziah. Kalau sebelumnya sebatas menjual gamis dan hijab, kini dia menambah koleksi dagangan berupa aneka masker kain.

Keputusan meramaikan jagat perdagangan masker kain karena penyalur barang dagangannya juga memproduksi barang serupa. “Awalnya cuma pingin tahu bahannya bagaimana. Ternyata bagus, dan banyak yang suka,” kata Naziah di Jakarta, Senin (27/4) dikutip dari Harian Nasional

Mencermati ketertarikan masyarakat terhadap masker berbahan kain dan scuba, perempuan berhijab ini mulai menjajakan salah satu alat pelindung diri (APD) itu di toko daring dan tetangganya. Pada awal pandemi, Naziah mampu menjual hingga 8 lusin per minggu. “ Ada yang beli lusinan, ada yang satuan. Apalagi dulu kan masker (bedah) banyak yang butuhin dan cenderung mahal harganya,” ujar dia.

Bukan soal angka penjualan, pada dasarnya Naziah tak ingin menjual masker dengan harga tinggi. Per lembar masker kain dia banderol Rp 5 ribu. Sedangkan masker scuba dihargai Rp 10 ribu. Harga yang relatif murah itu membuat pemesanan menjamah pasar lebih luas. Tak hanya tetangga, warga Cijantung, Jakarta Timur, itu mengaku pernah mendapat orderan hingga ke Parung, Bogor, Jawa Barat.

“Masyarakat cenderung memilih masker berbahan halus dan tetap nyaman saat dipakai. Paling banyak, ya bahan kain dan scuba itu. Makanya jual dua jenis (masker) itu,” katanya.

Senada dengan Naziah, Aisyah menyebut dua jenis masker tersebut paling banyak diincar masyarakat. Namun, perempuan berkulit kuning langsat itu punya alasan tersendiri memilih menjual masker tersebut.

“Pertama karena awalnya masker medis ini harganya melambung banget. Namun, sebagai pedagang masih butuh barang yang memungkinkan untuk dijual yang enggak harus mahal-mahal amat. Maunya yang beli pun bisa dapat dengan harga terjangkau,” tutur dia.

Dia menyebut, masker yang dia jual diproduksi penjahit yang sedang vakum karena butik tempatnya bekerja tutup sementara terimbas COVID-19. Warga Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, itu ingin saling membantu dalam kondisi susah seperti saat ini.

“Satu sisi, memang mau jualan. Di sisi lain, bisa bantu ekonomi keluarga ini yang harus putar otak mencari uang karena butik tempat kerjanya tutup karena COVID-19,” kata Aisyah.

Dari penjahit itulah masker-masker tersebut dia jual. Selain polos, masker berbagai motif diproduksi. Namun, ada kecenderungan pembeli memilih masker tanpa motif. Aisyah juga mengatakan, masker bukan lagi sekadar alat kesehatan yang harus digunakan untuk menghadapi pandemi, tapi bisa dijadikan atribut pelengkap fesyen.

“Kalau cowok cenderung beli yang scuba. Mungkin karena bentuknya yang kalau dipakai lebih (terlihat) stylish,” ujar dia.

Hanya saja, kini terjadi penurunan penjualan karena penjual masker makin banyak dan seiring kesadaran masyarakat untuk melakukan physical distancing. “Makin ke sini berkurang, karena makin banyak yang jualan di jalan. Orang-orang juga punya masker sendiri. Apalagi sekarang makin banyak yang sadar diri untuk stay di rumah,” tutur Aisyah.

Pada awal pandemi, Aisyah bisa menjual hingga 3 lusin masker tiap minggu. Namun, sudah dua minggu terakhir belum ada lagi pelanggan yang menanyakan masker. “Jadi sekarang tinggal abisin stok yang ada saja,” katanya.

Peristiwa beda dialami Ade. Produsen masker secara mandiri ini mengaku tak mengalami penurunan penjualan. Faktor harga dan motif membuat maskernya tetap laku di pasaran, baik yang dijual secara daring maupun langsung. “Orderan ada terus, enggak pernah sepi. Bisa ratusan bahkan ribuan potong kami produksi dalam seminggu. Untuk bulan ini ribuan yang sudah kejual,” ujar dia.

Ibu seorang anak ini memproduksi masker dengan tiga jenis bahan. Jika diurut dari kualitas paling rendah, ada jenis bahan moscrepe disusul katun motif karakter, kemudian oxford. “Oxford polos, bahan super tebal dan ini yang paling laku,” kata Ade.

Masker kain berbahan moscrepe dan katun Ade jual dengan harga Rp 3.500 untuk pembelian satuan dan Rp 35 ribu untuk pembelian lusinan. Sedangkan untuk bahan oxford, sebuah masker dihargai Rp 5 ribu dan Rp 45 ribu untuk selusin.

Ade mengatakan, keputusan memproduksi aneka masker kain secara mandiri karena suaminya memiliki usaha konveksi rumahan. Selain itu, melambungnya harga masker bedah melatarbelakangi keputusannya itu. “Niatnya meringankan sedikit beban mereka yang belum bisa beli masker dengan harga fantastis seperti masker yang sudah diperbincangkan sebelum masker kain ini naik daun,” ujar dia.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Wiku Adisasmito mengatakan, masyarakat sebaiknya menggunakan masker kain ketimbang masker bedah dan masker N95. Sebab, ketersediaan masker bedah dan N95 diutamakan untuk tenaga kesehatan yang menangani pandemi COVID-19.

Wiku menjelaskan, penularan virus corona baru terjadi melalui droplet atau percikan cairan yang keluar dari mulut atau hidung penderita. Virus kemudian ditularkan lewat mata, hidung, dan mulut yang dibawa tangan akibat tak sengaja menyentuh droplet tersebut. Meski efektivitas penggunaan masker bedah dan N95 lebih ampuh untuk menangkal virus, dia menyebut efektivitas masker kain hingga 70 persen.

“Mengimbau masyarakat umum untuk menggunakan masker kain tiga lapis saat terpaksa bepergian ke luar rumah. Berdasarkan hasil penelitian, masker tersebut 70 persen efektif mencegah penularan virus corona,” katanya.

Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 itu pun mengimbau masyarakat tetap berada di rumah dan melakukan prinsip physical distancing untuk mengurangi angka kesakitan akibat virus corona baru.

Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengatakan, saat ini masyarakat cenderung memahami pentingnya menggunakan masker sebagai upaya memproteksi diri. Dia menyebut, tidak ada dampak negatif yang muncul terkait penggunaan masker secara masif menurut kacamata sosial.

“Kalau dalam konteks awal sosialisasi COVID-19 belum masif, memang terjadi stigmatisasi atau labelisasi. Tapi ketika ini terjadi secara global dan akhirnya orang sadar bahwa ini adalah upaya membentengi diri. Bahkan, saat ini sudah menjadi etika sosial,” ujar dia.

Bahkan, ketika seseorang tak mengenakan masker, ada kecenderungan dia dianggap sebagai orang yang tidak mau diajak bekerja sama menjaga kesehatan masyarakat. “Sekarang berbalik. Ketika seseorang enggak pakai masker, dipertanyakan. Karena ini sudah dilakukan masif bahkan global. kesadaran masyarakat tentang ini sangat baik,” kata Devie.

Kendati demikian, menurut Devie, masyarakat tak bisa hanya mengandalkan pemakaian masker. Pengamalan physical distancing dan imbauan pemerintah harus dijalankan. “Minimal jadi pahlawan untuk melindungi keluarga sendiri, agar kita bisa merdeka dari corona,” ujar dia.

Devie pun menyarankan pemerintah terus bersabar dan konsisten mengedukasi masyarakat mengingat dari sisi karakter kultural, ingatan masyarakat Indonesia cenderung berjangka pendek sehingga cepat lupa. Efeknya, setiap arahan pemerintah harus disampaikan berulang-ulang. “Pemerintah harus memiliki kesabaran tinggi dan konsisten jika ingin masyarakat terus menerapkan langkah-langkah ini,” katanya.