Napi Asimilasi Era Jokowi Berulah Lagi

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Argo Yuwono mengatakan, sedikitnya 39 narapidana (napi) program asimilasi maupun pembebasan bersyarat kembali melanggar hukum.

Imbas pandemi virus corona baru (COVID-19), Kementerian Hukum dan HAM membebaskan lebih dari 38 ribu narapidana umum dan anak. Namun, Argo tak merinci jenis pelanggaran dan lokasi 39 mantan warga binaan yang kembali melanggar hukum.

Kendati demikian, menurut Argo, sejumlah pelaku melakukan kejahatan berbeda ketimbang sebelumnya. Dari beragam motif yang ditelusuri, beberapa di antaranya terkait kondisi ekonomi.

“Dari 39 mantan narapidana, motifnya ada yang sakit hati (lalu) menganiaya orang, ada yang menipu, ada juga ekonomi. Jadi ada yang tidak melakukan perbuatan yang sama,” kata Argo saat dikonfirmasi di Jakarta, Minggu (26/4).

Hasil penelusuran Antara, tindak pidana yang dilakukan narapidana program asimilasi dan pembebasan bersyarat didominasi kasus pencurian. Sebagian lainnya terkait penipuan, narkotika, juga pelecehan seksual.

Kepala Polri Jenderal Pol Idham Azis telah meminta anggotanya memetakan napi yang dibebaskan, bekerja sama dengan pemerintah daerah. Ini untuk mengawasi dan membina mantan warga binaan. Idham juga meminta dilakukan pemetaan daerah rentan kejahatan, lalu meningkatkan pengamanan dan  patroli.

Anggota Komisi III DPR Eva Yuliana meminta program asimilasi narapidana dihentikan sementara. Menurut Eva, program asimilasi yang dibuat untuk mencegah penyebaran COVID-19 di lingkungan lembaga pemasyarakatan justru menimbulkan persoalan baru.

Itu karena ada mantan narapidana yang kembali melanggar hukum. “Saya menerima banyak laporan dan informasi, banyak (narapidana asimilasi) yang melakukan tindakan kriminal setelah keluar dari penjara. Ini (program asimilasi) perlu dihentikan sementara,” imbaunya.

Protes program asimilasi juga disuarakan sejumlah kelompok masyarakat sipil. Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997 bersama Perkumpulan Masyarakat Anti Ketidakadilan Independen, juga Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia menggugat Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ke Pengadilan Negeri Surakarta.

“Kami ingin program dievaluasi. Dilakukan seleksi dan psikotes secara ketat jika melakukan asimilasi,” kata Ketua Umum Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997 Boyamin Saiman. Selain Yasonna, mereka juga menggugat Kepala Rutan Surakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Tengah.