Suara Wowo yang Menyedihkan

Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syebubakar

Banyak orang terkejut hebat, lalu menelan kepahitan, ketika Wowo memberi kesaksian dengan suara keras bahwa keputusan Jae selalu berdasarkan keselamatan rakyat miskin dan lemah! Ia menambahkan, Jae adalah sosok yang tulus memimpin bangsa dan memiliki komitmen tinggi untuk membersihkan negara dari korupsi.

Apakah itu berita hoaks? Tidak. Wowo memang bersaksi demikian. Kita tidak salah dengar! Dan mengapa harus terkejut padahal Wowo terbiasa membuat kejutan? Tahun lalu, setelah dikalahkan secara curang, tiba-tiba Wowo duduk berdampingan dengan Jae di dalam MRT, dan kemudian dilanjutkan dengan mendukung Jae, yang berarti mengakui kemenangan Jae dalam pilpres, hal yang tadinya ia tolak dengan keras sampai menggugat KPU dan membawa masalah itu ke MK.

Pendukungnya, yang berdarah-darah di lapangan, mendukung sikap Wowo. Pilpres memamg telah berlangsung curang secara kualitatif. Kalau Jae tetap akan dilantik menjadi presiden, biarlah itu terjadi. Tapi Wowo harus tetap pada pendirian agar tidak menjadi orang yang mendukung kecurangan yang diakuinya sendiri. Dan biarlah Jae memimpin negara tanpa legitimasi cukup. Sikap melawan Wowo — tentu tidak dengan kekerasan — akan mendorong tokoh-tokoh bangsa menilik ulang demokrasi yang hanya prosedural, bukan substansial.

Wowo justru merangkul kejahatan hanya demi dua kursi di kabinet untuk Partai Gerindra yang dipimpinnya. Terlalu murah harga yang dibayar Jae untuk sebuah dukungan yang hampir mewakili setengah penduduk negeri. Dan untuk mengobati pendukungnya yang ambyar. Wowo sendiri ditempatkan di posisi yang berada di bawah posisi menteri lain. Maaf, terlalu hina.

Biar begitu, meski juga kecewa, pendukung fanatiknya tetap mendukung perubahan sikap Wowo dengan sejumlah apologi. Wowo memang orang baik, tetapi menjadi jahat ketika ia mendukung kejahatan. Juga menjadi pengecut ketika menyembunyikan kebenaran atas alasan yang dibuat-buat.

Orang-orang yang masih setia padanya berapologi bahwa Wowo akan mengubah rezim dari dalam. Yang akan mengobrak-abrik strategi Jae yang ujung-ujungnya menaikkan Wowo ke posisi puncak negara dengan membanting Jae ke tanah.Tentu saja asumsi ini — yang datang dari mereka yang tak sanggup melihat realitas yang menyedihkan — hanyalah tontonan kekonyolan. Tidak ada akal sehat mana pun yang dapat membenarkan. Dan lihat — setelah enam bulan Wowo di kabinet — apa yang ia lakukan? Tentu saja tidak ada, kecuali menjalankan apa yang diperintahkan Jae. Wowo bahkan menjadi salah satu menteri yang hampir-hampir tak terlihat dan tak terdengar pikiran dan kinerja hebatnya kecuali bahwa ia keluar negeri untuk membeli senjata. Apa susahnya membeli senjata!

Heboh yang ia lakukan kemarin (22/4) adalah bersaksi bahwa keputusan Jae selalu berdasarkan keselamatan rakyat miskin dan lemah. Selama ini Wowo di mana? Kita sudah tahu lama bahwa kebijakan sosial-ekonomi Jae lebih pro-oligark ketimbang pro-rakyat. Lihat, ketika covid-19 menghantam rakyat tanpa belas kasihan, Jae hanya menyisakan sedikit bantuan yang dikemas dengan sejumlah bansos yang sebagiannya hanyalah gimik.

Sebaliknya, Jae lebih peduli pada ekonomi sekalipun untuk itu ia harus mengorbankan sekian banyak nyawa. Melihat amburadulnya penanganan covid-19, diperkirakan puluhan kalau bukan ratusan ribu warga yang akan meninggal. Lalu, mana keputusan untuk menyelamatkan rakyat miskin dan lemah? Mengutamakan keselamatan ekonomi jelas lebih mengutamakan keselamatan orang kaya dan oligark, bukan orang miskin dan lemah. Karena kalau untuk sungguh-sungguh membantu rakyat, seluruh pikiran dan tindakan rezim harus fokus pada keselamatan rakyat.

Heboh lain, Wowo bersaksi bahwa Jae adalah sosok yang tulus memimpin bangsa. Kesaksian ini membuat orang ngakak. Selama lima tahun terakhir ini kita disuguhi dengan keculasan-keculasan Jae. Ia juga sudah seringkali berbohong sampai kita tidak lagi mampu menghitungnya. Yang benar, Jae memimpin bangsa berdasarkan kesenangan dan kepuasan egonya. Bahkan, sebenarnya dia tak memimpin bangsa. Yang memimpin adalah Opung. Jae hanya asyik blusukan tak berguna dan mendengar bunyi kodok.

Terakhir, Wowo bersaksi bahwa Jae berkomitmen tinggi untuk membersihkan pemerintahan dari korupsi. Kesaksian ini juga lucu dan bodoh. Mana bukti Jae berkomiten — apalagi berkomitmen tinggi — memberantas korupsi sementara Jae terang-terangan mendukung pelemahan KPK dengan mendukung revisi RUU lembaga anti-rasuah itu. Belum lagi ia menyodorkan UU Penangan Covid-19 yang membuka jalan bagi terjadinya korupsi dan kejahatan. Perampokan besar besaran sejumlah perusahan plat merah juga dipertontonkan secara vulgar di era Jae. Yang terakhir — meskipun masih banyak contoh yang memperlihatkan betapa ia sangat menoleransi praktek-praktek korupsi di pemerintahan — ia memberi proyek pada staf khusus milenial. Perusahaan startup Ruangguru yang ternyata perusahaan asal Singapura.

Saya ingin melihat Wowo dari segi positif bahwa ia tidak ingin bangsa pecah. Baik karena akibat pilpres maupun covid-19 yang berpotensi mendestabilkan negara atau memecah-belah bangsa. Sayang, alasan ini tidak logis. Kalaupun kondisi dua isu di atas dianggap berpotensi merugikan negara dan bangsa, solusinya bukan merangkul kesalahan dan kejahatan. Tapi menekan pihak lawan untuk memaksanya menjalankan negara secara jujur, adil, saksama, dan prorakyat. Hanya dengan itu Wowo dapat berkontribusi bagi keselamatan rakyat, bangsa, dan negara. Mungkin juga dengan cara itu, Jae dapat menjalankan negara dengan tulus dan menghapus korupsi.