Soal Pembatasan AKAP: Benar Anies Atau Luhut

Oleh: Al Ghozali Hide Wulakada

Menteri Kesehatan dalam kewenangannya telah mengumumkan Darurat Kesehatan Masyarakat. Salah satu tindakan dalam keputusan tersebut ialah melakukan karantina pintu masuk mencakup pelabuhan udara, laut dan pos lintasan darat.

Karena pertengkaran Anies dan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) terkait soal Akap dan Kereta Api Listrik atau KRL di Jabodetabek maka, tulisan saya kali ini akan mengulas tentang siapa yang benar dan siapa yang salah dalam perspektif hukum.

Tulisan ini mengarahkan Anda agar tidak berfikir parsialis politis, bahwa perkelahian keduanya sama seperti cebong dan kampret.

Pertama, UU No 6 Tahun 2018 Pasal 25 secara tegas menjelaskan bahwa karantina pos perlintasan darat dilakukan terhadap setiap kendaraan darat yang datang dari wilayah yang Terjangkit, terdapat orang hidup atau mati yang didugaTerjangkit; dan/atau, terdapat orang atau Barang diduga Terpapar didalam Kendaraan Darat. UU tidak memerintahkan dilakukan pelarangan dan juta tidak perintah moda transportasi beroperasi. UU hanya mewajibkan Pemerintah melakukan pemeriksaan dan sterilisasi keadaan sesuai standar Ground Crossing Declaration of Health.
Rielnya, terhadap semua unit armada mendapat perlakuan karantina : (a) Karantina, Isolasi, pemberian vaksinasi atauprofilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi. (b) Pembatasan Sosial Berskala Besar. (c) Disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap Alat Angkut dan Barang;dan/ataud. penyehatan, pengamanan, dan pengendalianterhadap media lingkungan. Semua perilakuan yang disebutkan oleh UU itu bada batas tertentu bisa berbentuk pelarangan operasi secara masal dalam wilaha DKI. Jadi, rencana pelawarangan oleh Anies itu tidak bertentangan dengan Peraturan Hukum.

Kedua, pertengkaran itu terjadi karena destrukturalitas penanganan Covid 19. UU Karantina mengamanahkan penanganan pada Pejabat Karantina dan Mentri. Pasal 73 menjelaskan bahwa Pejabat Karantina Kesehatan merupakan pejabat fungsional di bidang kesehatan yang memiliki kompetensi dan kualifikasi di bidang Kekarantinaan Kesehatan sertaditugaskan di instansi Kekarantinaan Kesehatan di pintu masuk dan di wilayah.

Sedangkan Mentri dalam hal tersebut ialah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan (Mentri Kesehatan). Jadi jelaslah bahwa bukan Menteri Pergubungan dan atau Menko Maritim.

Hal yang menarik ialah pasal 75 menyatakan bahwa Pemerintah pusat dan daerah dalam hal tersebut bersama-sama penempatan Pejabat Karantina Kesehatan di Pintu Masuk dalam rangka penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Konkritnya, dalam tata laksana adminitrasi Pemerintaha, maka Gubernur sebagai atributif Pemerintah pusat lah yang memiliki kewenangan teknis.

Ketiga, Karena jabatannya sebagai Gubernur maka Anies disebut sebagai pejabat negara berdasarkan Pasal 122 UU ASN. Posisinya semakin kuat karena jabatannya sebagai Kepala Daerah (Otoritas DKI Jakarta) disebut dalam UU Karantina sebagai sebagai supervisor penanganan Karantina di Daerah.

Lain dengan LBP selaku Menteri Perhubungan Ad Interim bukan sebagai Mentri. Jabatannya bukanlah Mentri yang disebut oleh UU Karantina sebagai supervisor nasional pelaksanaan Karantina.

Sampai di sini jelas bahwa LBP tidak memiliki kapasitas untuk bicara apalagi memaksakan kehendak pada titik ego tertentu, itu model pejabat yang irrasional.

Jadi, sebaiknya LBP diam saja, tidak melewati batas kewenangannya di dalam urusan Pemerintahan, karena perlakuannya tersebut tidak etik sebagai pejabat pemerintahan dan berdampak kekacauan administratif.

Saat ini perkembangan telah membaik dengan terbitnya Kemenkes 01.07 / 239/2020 tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Wilayah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka Penanganan Covid19.

Sebenarnya Sumenkes tersebut hadir sebagai legesi atas apa yang telah dilakukan oleh Anis, karena tiga kreteria PSBB dalam UU Karantina sudah dilakukan oleh Anis sejak awal Januari yaitu : (a) peliburan sekolah dan tempat kerja, (b) pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau, (c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilita sumum. LBP sebagai unsur dari kementiran non supervisor sebaiknya ikut dan patuh terhadap skema regulasi yang dibuat oleh Gubernur DKI Jakarta. Dalam suatu keadaan, Pemerintah Daerah lebih tahu dari Mentri bahkan Presiden.