Mahfud MD, Sang Intelektual Pengkhianat

Mengejutkan! Pada suatu siang bolong, ketika masyarakat sedang beristirahat, Mahfud melontarkan ucapan “haram” meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad. Bukan hanya kaum Muslim, umat agama lain pun mungkin terperanjat. Mereka saling bertanya: apakah Mafud sedang memerintahkan umat Islam meninggalkan agamanya? Lebih penting lagi: siapa Majfud sebenarnya? Apakah dia titisan Lia Eden?

Mahfud adalah Menpolhukam di suatu negeri yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia. Sebelum keluar maklumat itu, Mahfud dikenal sebagai Muslim tulen. Malah dari kelompok Islam tradisional. Sewaktu muda pun ia adalah aktivis Muslim yang giat dalam dakwah melalui tulisan. Ia intelektual Muslim yang mempromosikan Islam moderat melalui majalah kampus sejak mahasiswa. Apakah sekarang, setelah menikmati kursi kekuasaan yang empuk, ia telah berubah? Saya, antara percaya dan tidak.

Tapi memang kekuasaan dan jabatan sering menjungkirbalikkan alur berpikir seseorang agar sesuai dengan maunya atasan. Segaris dengan beleid rezim. Rezim ingin isu radikalisme agama — hanya radikalisme agama Islam — dimatikan. Namun, ketika orang mempertanyakan konsep radikalisme Islam yang dimaksud, rezim mengatakan radikalis adalah mereka yang mengenakan cadar dan celana cingkrang. Agar konsisten, rezim segera melarang ASN mengenakan dua atribut Islam itu. Konsep dangkal ini segera ditolak beramai-ramai. Juga oleh kaum terpelajar yang tidak dikenal sebagai Islamis. Rezim boleh larang gerakan radikal, tapi jelas dulu definisinya. Toh, yang mengenakan cadar dan celana cingkrang bisa jadi Jamaah Tabligh yang apolitis dan bersetia pada model rezim apa pun.

Kalau yang dimaksud adalah pendukung khilafah, maka akan muncul problema dalam ajaran Islam. Khilafah itu hasil ijtihad ulama besar awal Islam dan dipraktekkan oleh Nabi dan para Khalifah Urrasyidin.

Mahfud berdalih, karena Nabi bukan manusia biasa sehingga bisa mengumpulkan kekuasaan di satu tangannya — kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan panglima militer — yang mustahil bisa dilakukan manusia biasa. Hanya Nabi yang maksum. Pendapat Mahfud ini cacat logika. Kita memang tidak akan bisa mengikuti nabi secara sempurna, dalam segala hal. Tidak saja dalam soal pengelolaan kekuasaan politik. Tetapi bukan berarti menjadi haram untuk mengikuti dan meneladani sikap beliau.

Juga tidak ada satu pun petunjuk dalam Al Qur’an dan Hadis yang mendukung pendapat Mahfud. Kaum ulama tersohor pun mendukung, bahkan mengharuskan, berdirinya khilafah. Karena kalau khilafah diharamkan, dan dibatasi hanya pada periode kenabian Muhammad Saw, maka Abubakar, Umar, Usman, dan Ali telah melakukan bid’ah yang culas. Padahal tidak mumgkin para Sahabat yang alim dan taat itu melanggar garis Islam yang ditetapkan Nabi. Toh, ada hadis yang mengharuskan kaum Muslim taat mutlak pada Amirulmukminin. Lagi pula, kalau haram mengikuti sunnah Nabi dalam soal politik, masih layakkah kita mengikuti Nabi dalam soal lain?

Baca juga:  Tanah Merah, Tanah untuk Rakyat

Karena saya menganggap Mahfud tetap Muslim yang baik, saya menduga pernyataan Mahfud itu hanyalah pernyataan ceroboh yang ingin dilihat gagah oleh Jae dan konsisten mendukung garis kebijakan rezim yang sebenarnya berusaha lari dari isu-isu besar yang menindas masyarakat. Kebobrokan-kebobrokan yang diproduksi rezim.

Sekiranya pernyataan rezim bahwa 30 persen penduduk Indonesia adalah golongan radikalis, mengapa suara PKS — kalaupun mau dianggap sebagai partai yang mendukung khilafah — dalam pileg hanya mencapai 8 persen? Kalau benar kampus universitas favorit merupakan sarang radikalis, mengapa tidak terjadi kekerasan di sana?

Kalau para radikalis itu mengancam eksistensi negara, seharusnya penanganan isu ini jauh lebih serius dan konsisten. Faktanya, tiga menteri yang ditugasi menangani isu radikalisme Islam kini tenggelam hingga ke dasar. Isu radikalisme pun ikut hilang lenyap bagai ditelan bumi.

Tiga menteri itu justru harus tunduk pada permainan Opung dalam menangani wabah berbahaya yang menggoncang ekonomi nasional. Dalam permainan kasar dan serampangan Opung ini, Mahfud muncul dengan kebodohan yang baru. Indonesia satu-satunya negara besar di Asia yang tidak terdampak virus corona, katanya, dengan raut wajah yang tegas, seolah-olah dia baru saja menerima gelar doktor bidang virologi, epidemologi, dan pakar sejarah penyakit menular di negeri ini. Memang menyedihkan. Seorang pakar ketatanegaraan dan seorang intelektual Islam yang dihormati, tiba-tiba berubah menjadi kambing congek. Ia mempertaruhkan reputasinya dengan mendukung kebijakan Opung, melacurkan intelektualismenya.

Sebagai Menpolhukam, seharusnya Mahfud lebih berkuasa dari Opung — yang hanya Menko Maritim dan Investasi — dalam menangani bencana nasional yang berimplikasi pada keamanan, hukum, dan politik nasional. Faktanya, Mahfud hanya tidur di rumah, tak peduli fungsinya diambil alih oleh Opung. Mahfud terpaksa mengalah pada Opung karena de facto Opunglah panglima yang mengatasi semua menteri. Bahkan juga mengatasi Jae.

Baca juga:  Jangan Lupa, Wanita Emas Bilang KPU Akan Menangkan Ganjar Pranowo

Keadaan di negeri ini sedang terbalik-balik. Yang bawahan jadi atasan, yang salah jadi benar, yang baik jadi buruk, dan semua terjadi secara serempak tanpa satu pun menteri yang mampu meluruskan hal-hal yang bengkok ini. Kalau ada yang bilang Jae atau Opung mampu, tentu ia sedang mengigau. Dengan demikian, secara tidak langsung saya mengatakan Mahfud pun tak mampu. Yang mampu mengatasi krisis multidimensi ini bukan hanya diperlukan orang berilmu yang berada di atas rata-rata kapasitas manusia, tapi juga harus memiliki integritas. Dan Mahfud tak punya keduanya. Baru-baru ini saja integritas Mafud jatuh. Dijatuhkan oleh Opung dan dirinya sendiri.

Lihat, sebelum tidur panjang, Mahfud pernah bikin konferensi pers dengan sikap yang sangat yakin bahwa rezim sedang mempersiapkan Perppu untuk lockdown. Pasti pernyataan itu sudah diketahui Jae. Sayangnya, Opung menganulir begitu saja. Mestinya Mahfud sudah tahu dari awal bahwa kebijakan yang benar adalah yang datang dari Opung, bukan Jae. Entah kecewa karena wibawanya dijatuhkan Opung, Mahfud menghilang sejak itu. Tapi saya tidak menyalahkan Mahfud kalau ia berdiam di rumah. Toh, tidak ada pekerjaan yang perlu dilakukan. Semua sudah diambil Opung.

Mestinya, sebagai pakar ketatanegaraan, Mahfud tahu bahwa apa yang dilakukan Opung itu salah. Tidak boleh tanggung jawab dan hak presiden dirampas begitu saja oleh menteri. Dari segi tatakelola pemerintahan pun, tidak benar. Tapi demi kekuasaan, Mahfud cuek bebek atas semua kesalahan ini.

Dengan begitu, kita bisa menduga Mahfud akan juga tersapu angin puyuh virus corona. Orang bilang itu karena kualat pada HRS. Toh, ketelantaran HRS di luar negeri juga dibiarkan Majfud meskipun ia tahu itu salah secara hukum. Di mana-mana di dunia ini negara wajib melindungi warganya di luar negeri, terlepas dari perbedaan sikap politik. Dan itu tidak dilakukan Mahfud.

Saya menganggap redupnya Mahfud lebih disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Dia tunduk pada kebijakan Opung dan bersedia menjadi menteri saat rezim Jae telah terbongkar bobroknya dalam segala hal sejak awal. Sorry, Mahfud.

CATATAN KRITIS IDe#8
Institute for Democracy Education
Jakarta, 19 April 2020