PS BB (Berskala Besar) Ataukah PS BB (Bohong-Bohongan)?

Oleh: Tardjono Abu Muas, Pemerhati Masalah Sosial.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) perdana telah digulirkan mulai Jum’at (10/4/2020) untuk wilayah DKI Jakarta, menyusul beberapa hari kemudian Depok, Bekasi, Bogor, Tangerang Raya dan beberapa daerah lainnya menyusul.

PSBB di Jakarta dengan segala pengecualiannya telah berjalan selama 10 hari. Publik di luar Jakarta paling tidak, dapat mengikuti proses jalannya PSBB tersebut melalui tayangan layar kaca. Menyimak dan mengikuti jalannya PSBB lewat tayangan di layar kaca, layaklah publik mempertanyakan.

Efektifkah pelaksanaan PSBB dengan segala aturan yang telah ditetapkannya, jika kita masih bisa menyaksikan orang-orang berlalu-lalang di stasiun Kereta Api naik-turun KRL, padahal 2 gubernur dan 5 bupati telah berkeinginan stop operasional KRL Jabodetabek?

Jika operasional KRL tidak dihentikan, layaklah kita timbul pertanyaan berikutnya. Layakkah nama PSBB ini jika diplesetkan singkatannya menjadi Pembatasan Sosial Bohong-Bohongan? Satu sisi ada larangan keluar rumah, tapi di sisi lain kita masih menyaksikan orang-orang berlalu-lalang naik-turun KRL

Jangan-jangan konsep dasar diterbitkannya aturan PSBB adalah dalam rangka “percepatan” penanganan penyebaran Covid-19, pada gilirannya bukannya “percepatan penanganan” malah akan berubah menjadi “perlambatan penanganan” yang sama artinya mempercepat penyebaran virus yang satu ini?

Tarik-ulur kebijajakan di tengah wabah Covid-19 sebenarnya tidak perlu terjadi jika para penentu kebijakan selalu mengedepankan keselamatan masyarakatnya di atas segala sesuatunya.

Akankah Pembatasan Sosial Bohong-Bohongan di Jakarta ini masih akan tetap dilakukan hingga berakhir pada 23 April 2020 mendatang? Ataukah kembali kepada konsep awal PSBB yang bukan bohong-bohongan?