Kapitalisme Membunuh Ukhuwah Islamiyah dengan Muslim india

Oleh : Juliana (aktivis muslimah)

Tertindas dan menjadi korban kezaliman adalah fakta yang menimpa umat islam di India saat ini. Peristiwa pecahnya kerusuhan sejak Minggu, 23 februari di New Delhi telah menelan korban tewas per Sabtu 29 Februari mencapai 42 orang, sementara korban luka ratusan. Pemukiman dan pertokoan rusak parah, masjid yang dibakar, menjadi bukti atas keberingasan penyerangan entitas Hindu terhadap umat Islam di India. (tirto.id)

Amandemen Undang-Undang Warga Negara atau Citizenship Amendment Bill (CAB) yang sangat kental dengan nuansa anti-muslim yang telah disahkan oleh Perdana Menteri India Narendra Modi, dua bulan lalu menjadi pemantik atas peristiwa berdarah yang terjadi. Pasalnya, Undang-Undang ini memungkinkan para imigran ilegal dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan untuk mendapatkan kewarganegaraan, kecuali mereka yang beragama Islam. Di bawah Undang-Undang ini, muslim India juga wajib membuktikan kalau mereka memang warga negara India. Sehingga bisa berakibat 200 juta muslim India tidak akan diakui sebagai warga negara.

Sikap brutal terhadap muslim India berkelindan dengan penyakit islamophobia akut telah memunculkan kebencian yang sangat pada umat islam. Republika memberitakan bahwa gerombolan orang Hindu, membawa senjata api, bom bensin dan batang besi, merampok melalui jalan-jalan yang padat di daerah itu. Mereka juga menyerang orang yang lewat dengan ciri kemusliman seperti jenggot, peci dan pakaian khas muslim serta membakar properti yang mereka curigai sebagai milik orang Muslim India. Rekaman media sosial menunjukkan kelompok-kelompok meneriakkan “Jai Shri Ram” (slogan agama Hindu) dan menyerang lingkungan muslim.

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling kasih, saling menyayang dan saling cinta adalah seperti sebuah tubuh, jika salah satu anggotanya merasa sakit, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakan sulit tidur dan demam. (Shahih Muslim No.4685). Demikian perumpaan dari baginda Rasulullah saw. tentang hubungan antar sesama muslim. Sehingga wajar muncul pembelaan atas saudaranya di India yang mengalami penindasan dan kezaliman. Jagat twitter pun diramaikan tagar #ShameOnYouIndia yang menjadi trending topic. Termasuk diselenggarakannya aksi solidaritas muslim India di berbagai daerah termasuk di Ibu Kota. Namun, sikap yang jauh dari pembelaan yang utuh terhadap sesama muslim justru ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia sebagai negeri muslim terbesar. Pemerintah bergeming terhadap penindasan tersebut. Pemerintah melalui Menteri Agama hanya mengecam dan meminta agar umat islam di Indonesia tak terpancing dengan konflik tersebut. Padahal banyak pihak yang menuntut ketegasan pemerintah, terlebih dimana saat ini Indonesia menjadi anggota Dewan HAM dan anggota Dewan Keamanan PBB. Ternyata sikap pemerintah tak jauh dari sikap Amerika Serikat dan PBB yang diam seribu bahasa ketika penindasan menimpa umat islam, namun lantang saat korban yang jatuh bukan umat islam. Yang menggunakan standar ganda HAM pada umat islam. Yang hanya menjatuhkan cap teroris, ekstrimis dan intoleran kepada umat islam namun tidak untuk selain umat islam. Disinilah omong kosong dan hipokritnya ide hak asasi manusia.

Apa yang melatarbelakangi sikap lembek pemerintah Indonesia ini jelas lahir dari paham sekuler kapitalisme. Dimana sikap yang diambil lahir dari pertimbangan untung dan rugi. Bukan lahir dari tuntutan aqidah dan ukhuwah islamiyah. Para pengamat menilai bahwa sikap kurang tegas pemerintah Indonesia disebabkan nasib hubungan dagang antara Indonesia dan India. Ini karena India adalah importir sawit terbesar di dunia dan kebetulan Indonesia sedang menyiapkan ancang-ancang itu. Karenanya, sikap business as usual memang tak terhindarkan. Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi, menyebut Indonesia sudah siap melakukan barter untuk memuluskan masuknya komoditas sawit dengan melakukan impor produk India. “Kami mengajukan juga kebutuhan impor baru 130 ribu ton dari india. Ini kita barter, kalau enggak, sawit kita enggak masuk ke sana,” ucap Agung Hendriadi kepada wartawan di Menara Kadin, Kamis (27/2/2020).

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus pun menyatakan sebab yang sama atas lembeknya sikap pemerintah atas penindasan muslim India yaitu dikarenakan faktor ekonomi. Pasalnya, Indonesia membutuhkan India untuk meningkatkan ekspor sawitnya. Posisi India saat ini menduduki posisi kedua dengan nilai 4,8 juta ton, hanya kalah dari Cina di angka 6 juta ton sepanjang 2019. Di sisi lain, pasar India ini jadi penting karena Indonesia tengah mengalami hambatan ekspor ke Uni Eropa gara-gara kebijakan Renewable Energy Directive (RED II).

Situasi diperburuk dengan penurunan ekspor kelapa sawit ke Cina karena mewabahnya virus Corona atau COVID-19, ditambah ada perlambatan ekonomi global sejak 2019. Peringatan Heri ini beralasan karena India sempat memboikot sawit Malaysia. India kemudian mengambil pasokan sawitnya dari Indonesia meski dengan harga tinggi sekalipun. Selain sawit memang masih ada sejumlah produk lain yang akan diekspor ke India, misalnya baja, karet alam, asam lemak. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, Indonesia justru memberi sinyal akan memperbanyak komoditas impornya seperti gula, daging kerbau, bawang putih sampai suku cadang kendaraan bermotor. Seolah pemerintah hendak mengungkapkan, kami enggak usah ikut-ikutan urusan internal India. Bisa kasih saran tapi jangan intervensi. Nanti India ngambek enggak mau beli dari kita. ucap peneliti Indef ini sebagaimana yang diberitakan oleh tirto.id.

Karena itu penindasan dan kezaliman yang menimpa umat islam di India dan diberbagai belahan negeri lainnya tidak akan bisa berakhir selama umat islam dipimpin oleh ideologi kapitalisme. Di dunia saat ini, memang tidak pernah ada penguasa yang benar-benar peduli dan adil terhadap muslim, termasuk di negeri muslim terbesar seperti Indonesia. Muslim, dalam kondisi yang lemah pun masih ditakuti akan kembali bangkit. Sehingga, sekecil apa pun potensinya, akan dimusnahkan.

Hal yang sangat jauh berbeda saat umat islam berjaya dalam naungan Khilafah Islamiyah, semua pemeluk agama –ahlul kitab ataupun musyrik– akan mendapatkan perlindungan dan tak akan dizalimi. Hal itu terjadi sejak Negara Islam pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad saw di Madinah dengan agama penduduknya yang plural. Syariat islam yang diterapkan secara kaffah mampu mengikat keberagaman dan menjalankan pelayanan terhadap berbagai urusan warga negara. Pun saat Khilafah Utsmaniyah mampu menguasai hampir 2/3 dunia, dengan keragaman komunitas agama dan etnis, semua dilindungi.

Dalam hukum Islam, warganegara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warganegara Negara Islam, dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka. Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)

T.W. Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Dia menyatakan bahwa,“Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam. Kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.” Masih dari buku yang sama dinyatakan: “Kala Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras, dan untuk itu dikeluarkan sebuah Dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan para penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil.”

#opini #kontributor