Membandingkan Capaian Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Vietnam dan Myanmar

Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi

Tidak hanya The World Bank (WB) dan International Monetary Fund (IMF), namun juga The Asian Development Bank (ADB) telah mengeluarkan info (release) tentang akan cemerlangnya pertumbuhan beberapa negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Bahkan, 2 (dua) negara Asean, yaitu Vietnam dan Myanmar yang lebih akhir terbebas dari konflik bersenjata di dalam negeri dibandingkan Indonesia diperkirakan akan mencapai pertumbuhan ekonomi 7-8% pada Tahun 2020.

Vietnam, hanya dalam 3 (tiga) dekade mampu bertransformasi dari awalnya adalah salah satu negara termiskin di wilayah Asean, kemudian menjadi salah satu negara tersukses dalam mengelola pembangunan. Jika mencoba mengamati perjalanan sukses Vietnam ini, maka tak bisa dilepaskan dari dimulai pada akhir tahun 1980-an. Mereka mampu menggerakkan ekonomi tak hanya untuk memenuhi pasar dalam negeri, tetapi juga berorientasi untuk pasar kawasan dan dunia (global market). Strategi ini berhasil memacu pertumbuhan ekonomi hingga mencapai rata-rata 7,0 persen per tahun pada periode 1991 hingga 2010.

*Strategi Pembangunan*
Pada Tahun 1986, dalam sebuah Kongres Partai muncul sebundel strategi pembangunan ekonomi yang tak lazim jika merujuk teori Marxisme. Doi Moi, dalam bahasa Vietnam yang berarti pembaharuan, diperkenalkan sebagai sebuah semangat baru.
Doi Moi adalah juga merupakan sebuah konsepsi yang pada akhirnya dikenal sebagai sistem ekonomi pasar sosialis. Hal mana kebijakan tak jauh beda juga diterapkan oleh Deng Xiao Ping di Republik Rakyat China (RRC) pascakegagalan “Lompatan Jauh” ala Mao Ze Dong. Artinya, Vietnam yang berideologi komunis tidak melarang sepenuhnya, sebagaimana juga tidak membebaskan semuanya aktifitas pengelolaan modal swasta, bahkan dana asing berputar di negara tersebut. Demikian pula halnya dengan kebijakan RRC di era Deng yang kemudian dilanjutkan oleh Ziang Zemin dan Xi Jin Ping sampai saat ini.

Melalui konsepsi Doi Moi, Vietnam mendorong swasta membangun berbagai industri di negara tersebut dalam berbagai bidang dan terbuka untuk investasi asing secara terbatas. Vietnam kemudian melakukan pendekatan dan melakukan kerjasama ekonomi dengan negara-negara kapitalis Eropa, termasuk di Asia dengan Jepang, Korea Selatan, dan Singapura. Proses dan mekanisme perizinan investasi juga dibuat singkat dan ringkas, serta hanya membutuhkan pengesahan dari Gubernur.

Kawasan-kawasan industri baru tercipta, dan beragam insentif diberikan kepada investor manapun yang berminat mengembangkan industri di Vietnam. Melalui kebijakan inilah, perekonomian Vietnam yang hancur dan secara sosial politik sempat terbelah antara Utara dan Selatan melesat dengan cepat dibanding negara Asean lainnya. Selain itu, kebijakan pemihakan (affirmative policy) ekonomi diarahkan pada generasi korban perang saudara yang menyaksikan kehancuran kehidupan sosial-politik dan ekonomi masyarakat Vietnam. Salah seorang korban yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi pelaku ekonomi berskala besar pada masa berlangsungnya Doi Moi ini adalah Pham Nhat Vuong.

Masyarakat internasional pun menjadi saksi dan mencatat, bahwa Vietnam yang sebelumnya adalah negara terbelakang, maka selama 30 tahun perjalanan reformasi ekonomi Vietnam yang disebut “Doi Moi” dan telah dicanangkan pada Tahun 1986 dengan 90 persen penduduknya bekerja di sektor pertanian menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang paling dinamis di Asia. Konsepsi Doi Moi bagi masyarakat Vietnam tidak hanya sebuah strategi pembangunan, namun memberikan semangat untuk membangun secara terencana dan terarah melalui skala prioritas (belajar pada pengalaman Indonesia melalui Bappenas), bahkan juga berkah tersendiri. Hasilnya adalah, pendapatan per kapita negara tersebut naik tajam dari US$ 471 dolar AS pada tahun 2001 (16 tahun setelah kebijakan Doi Moi dicanangkan), lalu meningkat menjadi US$ 2.300 dolar pada tahun 2015.

Dalam aspek “competitiveness”, peringkat Vietnam membaik menjadi urutan 56/140 pada Tahun 2015-2016, yang semula berada pada peringkat 77/104 pada Tahun 2004-2005. Secara umum, Vietnam telah berhasil menggunakan pendekatan baru dalam pembangunan, serta keluar dari isolasi politik dan ekonomi untuk mengembangkan hubungan luar negeri, memperluas integrasi internasional, memperdalam hubungan bilateral, regional dan multilateral.

Begitu juga halnya dengan Myanmar, setelah pesta demokrasi digelar pada Hari Minggu 8 Nopember 2015, tokoh oposisi Aung San Suu Kyi tak luput dalam sorotan media.
Peraih Nobel Kemanusiaan pada 1991 ini dinilai sebagai salah satu simbol penentang rezim pemerintahan junta militer dan tokoh yang selalu mengupayakan tumbuh dan berkembangnya demokrasi di negara Myanmar, kemudian terpilih menjadi Presiden

Perekonomian Myanmar juga berubah drastis dengan strategi pembangunan bertahap, selama 2 (dua) tahun terakhir pertumbuhan ekonominya berdasarkan laporan World Economic Monitor Trend adalah sebesar 6.8 % pada Tahun 2018. Pertumbuhan ekonomi Myanmar ini naik dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencapai 5.9 % pada Tahun 2017.

Sektor energi, menjadi perhatian utama pemerintah, perusahaan Gobchai melihat potensi investasinya cukup besar di Myanmar karena negeri pimpinan Aung San Suu Kyi itu kekurangan pasokan energi., dan Proyek Pembangkit TTCL sendiri masih menunggu pengesahan dari Menteri Kelistrikan Myanmar untuk bisa dijanlankan.

Berdasarkan data statistik pemerintah Myanmar, dibidang investasi RRC masih merupakan negara yang tertinggi menanamkan dananya di Myanmar sejak Tahun 2010 dengan nilai sejumlah US$18,1 Milyar. Selama April-Oktober 2017 saja, investasi Cina mencapai US$ 841,5 Juta, sementara negara-negara Uni Eropa hanya US$ 3,9 Milyar dan investasi USA hanya sejumlah US$133 juta saja.

Prioritas Yang Salah
Lalu, bagaimana dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, apa hasil reformasi yang sudah berusia 21 tahun dan pembangunan 5 (lima) tahun terakhir, jawabannya hanya infrastruktur yang mentereng namun bersumber dari utang luar negeri. Pembangunan fisik infrastruktur di beberapa daerah memang tak bisa dibantah mengalami peningkatan cukup pesat. Artinya adalah, ibarat hidup mewah, tapi dibiayai oleh utang.

Disamping itu, pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai selama pemerintahan Presiden Joko Widodo pada periode 2014-2019 tak beranjak dari kisaran angka 4,7-5%. Hal mana, berbeda dengan era pemerintahan Presiden ke-2 RI almarhum Soeharto yang membuat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan mendorong swasembada. Program ini mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga mencapai 10,92 persen pada Tahun 1970.

Kesalahan strategi pembangunan dan menetapkan skala prioritas pembangunan melalui pembangunan infrastruktur secara berlebihan atau massif dengan sumber dana berasal dari utang luar negeri akan membawa implikasi dana tersebut tertanam lama pada bangunan fisik. Sementara itu, iklim dan cuaca yang sedang ekstrem akan memperparah keadaan hasil infrastruktur yang telah terbangun apabila terkena bencana. Pembangunan infrastruktur memang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia dalam menggerakkan perekonomian antar wilayah. Namun, pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan yang lainnya tanpa perencanaan dan kajian yang komprehensif, akan membebani keuangan negara dalam jangka panjang.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan mengalami perubahan 5 (lima) tahun mendatang (sampai Tahun 2024) apabila tidak terdapat perubahan strategi pembangunan dan skala prioritas. Justru Vietnam dan Myanmar yang telah “belajar” ke Indonesia lah yang akan menangguk hasil pertumbuhan ekonomi secara optimal, bahkan seperti yang pernah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru pada Tahun 1970.

Sebagaimana halnya pertandingan sepakbola dalam sebuah kompetisi, apabila telah berkali-kali kalah dalam permainan, maka jika tak ada perubahan strategi akan mengalami kekalahan berikutnya. Demikian juga halnya dalam mengelola pembangunan negara dan bangsa, apabila pemerintahan Presiden Joko Widodo periode 2024-2029 tidak belajar pada kesalahan menetapkan strategi pembangunan dan skala prioritas serta tim ekonomi kabinet pada periode 2014-2019, maka tidak akan terjadi perubahan dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5 persen tersebut. Bahkan, Indonesia punya potensi menjadi negara tertinggal di kawasan Asean, dan bukan tidak mungkin akan dilampaui oleh negara lain, seperti Laos dan Kamboja.

Melalui ikhtisar pertandingan sepakbola yang hanya permainan itu, sudah tampak dan terbukti bahwa Indonesia semakin tidak mudah untuk mengalahkan lawannya negara-negara anggota Asean. Semoga fakta ini tak menjadi kenyataan dalam mengelola pembangunan ekonomi negara dan bangsa untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi bangsa yang diperkirakan secara pesimis oleh berbagai lembaga internasional tak bergerak dari 5 persen. Malu rasanya apabila bangsa lain yang belajar strategi pembangunan dan skala prioritas pada Indonesia, justru Indonesia sendiri yang sudah tidak memakainya lagi.