Beda Sikap Terhadap Bendera Tauhid dan Bintang Kejora, Mengapa?

Tendensius terhadap bendera tauhid tetapi cenderung diam terhadap berkibarnya bendera bintang kejora dinilai orang-orang di lingkungan istana dan ormas tertentu tidak benar-benar menjaga NKRI tetapi lebih kepada fobia Islam (islamophobia).

“Kalau memang murni tulus menjaga NKRI semestinya mereka vokal juga dong terhadap pengibaran bendera bintang kejora, di depan Istana Negara lagi, kok pada diam? Berarti memang mereka itu fobia Islam dan tak peduli dengan kesatuan negeri ini,” ungkap pengamat sosial politik Joko Prasetyo kepada suaranasional, Jumat (30/8/2019) di Depok.

Menurut Joko, bendera tauhid, atau yang dalam hadits disebut liwa (bendera tauhid putih) dan rayah (panji tauhid hitam), merupakan simbol persatuan kaum Muslimin sedunia. “Jadi bukan hanya menyatukan kaum Muslimin dari Merauke sampai Sabang, tetapi dari Merauke sampai Maroko, maksudnya sedunia,” bebernya.

Sedangkan bendera bintang kejora, menurut Joko, adalah simbol separatisme Papua dari negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim ini. “Alih-alih mau menyatukan Merauke sampai Maroko, dengan Sabang saja ingin lepas,” katanya.

Joko menyebutkan, berdasarkan rambu-rambu Islam pemisahan Papua dari negeri Muslim Indonesia hukumnya haram. “Jadi, referendum pelepasan Papua jangan sampai jadi opsi,” tegasnya.

Penyelesaian tuntas masalah Papua hanya bisa dilakukan dengan pembangunan yang adil dan merata. “Solusinya dengan menerapkan ekonomi Islam, bukan dengan sistem ekonomi kapitalis,” tegasnya.

Ia juga menyebutkan, tak hanya sistem ekonominya saja, tetapi syariat Islam secara kaffah harus ditegakkan. “Karena hanya dengan cara itu kerahmatan Islam akan terwujud, termasuk bagi warga Papua,” pungkasnya.