Memperingati Dirgahayu Indonesia, Bukan Mengenang Indonesia

Oleh: MN Lapong
Direktur LBH ForJIS

Dua minggu yang lalu saya kesulitan mencari bahan inspirasi tulisan untuk memperingati Indoneasiaku yang memasuki 74 tahun usia “senjanya”.

Tiba tiba hari Rabu kemaren, saudara Surya Paloh yang sukses dalam banyak hal, minimal sukses media dan sukses partainya.

Membuat saya kaget atas pernyataannya di Kampus civitas academica UI Salemba menerangkan :

“Kita ini malu-malu kucing untuk mendeklarasikan Indonesia hari ini adalah negara kapitalis, yang liberal, itulah Indonesia hari ini.”

“Semua pihak, terus menerus berbicara soal Pancasila tapi sesungguhnya justru negara ini telah masuk dalam kategori negara kapitalis.”

Setelah membaca ini, saya nyeletuk di wag, Kok baru sadar om? Bukannya selama ini sampeyan sibuk dan menikmati suasana liberal dan kapitalis sejak pasca reformasi.

Ada yang bertanya, apakah Surya Paloh kecewa pada situasi politik yang diahapinya pasca rekonsiliasi? Saya jawab mungkin saja, tapi apa yang diungkap Paloh tetap benar adanya seperti yang kita lihat atas situasi negara dan bangsa saat ini.

Walau tidak semua, TV, media, aktivis, mahasiswa, dosen di kampus, cerdik cendekia, analis pengamat, birokrat, aparat, wabil khusus ponggawa ponggawa partai, politisi dan tentunya para kompanyon kaum pemodalnya, terasa sangat happy dengan suasana liberal yang dibangun dalam koridor demokrasi dan kompetisi pasar bebas pasca reformasi.

Mereka merekalah yang sangat kencang teriak saya Pancasila, saya NKRI, dengan memberi kode/stigma pihak lain dengan sebutan intoleran dan radikal, bisa jadi cara itu adalah diferensiasi yang diciptakan agar rasa liberal dan kapitalis ini menjadi jualan yang laris dan enak di lahap di tengah masyarakat.

Mereka mereka pun turut menjadi kongsi yang handal menikmati proses kapitalis dari sekelompok kaum kapital para pemodal dari etnis cina tentunya.

Menurut Yoshihara Kunio, Para kapitalis ini menjalin hubungan dengan pemerintah demi keuntungan bisnis, disebut pemburu rente (rent seekers) karena pada pokoknya mereka mencari peluang-peluang untuk menjadi penerima rente yang dapat pemerintah berikan dengan menyerahkan sumberdayanya, menawarkan proteksi, atau memberikan wewenang untuk jenis-jenis kegiatan tertentu yang diaturnya.

“Rente” di sini didefinisikan sebagai selisih antara nilai pasar dari suatu “kebaikan hati” pemerintah dengan jumlah yang dibayar oleh si penerima kepada pemerintah atau secara pribadi kepada penolongnya di pemerintahan (kalau ia tidak membayar sama sekali, maka seluruh nilai pasar adalah rente, atau lebih tepatnya, rente ekonomi).

Hubungan handal yang tercipta dalam proses kapitalistik ini menjadi simbiosa mutualis di antara mereka mereka bahkan di era reformasi semakin nyata, telanjang dan terbuka lebar melalui banyak pintu, berbeda di era orba yang pintunya sempit pada pusat kekuasaan saja.

Mereka semua berlomba menjadi pemburu rente dan spekulator. Hukum pun menjadi tumpul karena semua ikut bermain termasuk penegak hukum, Kalau pun ada yang di tangkap KPK itu hanya karena si pelaku apes saja.

Gaya akrobatik diera reformasi yg liberal dan kapitalis ini, membuat tatanan sosial dan kenegaraan pun berobah drastis, negara menjadi kehilangan kontrol atas si kuat yang makin kuat mengcengkram yang lemah, atas si kaya yang makin kaya membeli semua aset aset sumberdaya si miskin.

20 tahun pasca reformasi yang kita lihat, negara bangsa menjadi keluar rel seperti yang di cita citakan oleh para The Founding Fathers. Konstitusi UUD 45 yang di amandemen 2002 pada dasarnya mereka telah membuat negara baru atau negara palsu dari aslinya, yang merubahnya pun mungkin saja sudah menjadi The Founding Fathers Baru tapi Palsu oleh para pendahulunya yang mendirikan negara ini.

Reformasi dengan Demokrasi-nya telah menjadi pintu handal masuknya kehidupan kapitalis dan liberal mencengkram sendi sendi kehidupan masyarakat dan negara.

Hasilnya mencengankan, dalam 21 tahun usia reformasi pemerintah negara makin lemah mewujudkan pemerataan kesejahterakan rakyat. Hasil studi Oxfam beberapa waktu lalu menganalogkan, bahwa ada 4 orang terkaya di Indonesia kekayaannya sama dengan jumlah kekayaan 100 juta orang Indonesia yang sebagian besarnya bernasib hidup prihatin.

Rasio kepemilikan dalam semua hal antara si kaya dan si miskin makin dalam dan jauh, contoh misal ada seorang taipan memilik 5juta hektar lahan tanah sementara ada jutaan rakyat tidak memiliki semeter pun tanah untuk modal mereka hidup.

Kehidupan Kapitalistik dan liberalis yang makin sulit dikontrol, dan makin tangguh melaui pintu demokrasi partai partai telah membuat Indonesia tidak menjadi macan asia lagi.

Hutang makin menumpuk dari waktu ke waktu, telah menjadi andalan dalam pembangunan. Hutang sudah menjadi lingkaran rentenir dari para lembaga/negara pemberi pinjaman karena mereka tahu bahwa untuk membayar hutang pun terpaksa harus dengan hutang lagi.

Pemerintah negara telah kehilangan elan vitalnya menggenjot produktivitas dan industri dalam negeri baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun yang bertujuan eksport, malah yang terjadi sebaliknya membuka lebar lebar kran import, dan yang terjadi pelan tapi pasti mulai mematikan industri hulu maupun hilir dalam negeri, tidak terkecuali industri swasta maupun industri BUMN, satu persatu pun mulai gulung tikar.

Berbeda dengan negara China yg sama sama melakukan reformasi, Indonesia jauh lebih beruntung selain sumber daya alam yang jauh melimpah dan jumlah penduduk yang jauh lebih sedikit dari China, serta GDP Indonesia yang lebih besar dari China saat terjadinya reformasi di kedua negara.

Sekarang China malah berhasil melampui jauh kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia saat ini. Bahkan China berhasil menjadi raksasa ekonomi bersaing dengan Amerika Serikat, baik di bidang ekonomi, kemajuan perkembangan teknologi dan militer, dibuktikan dengan produk teknologi China hampir merajai import yang masuk ke pasar produk lokal di semua negara termasuk Indonesia.

Apa yang salah dengan negeri Republik Indonesia yang kaya raya ini?

Apakah benar?
Menurut Hatta Taliwang, bahwa bangsa ini telah mempreteli habis jatidirinya yang ditulis dengan darah dan air mata dari para The Founding Fathers dan Pahlawan Nasional yang gugur oleh para generasi kerdil sesudahnya.

Indonesia yang asli dan otentik yang tertuang sebagai konsensus kebudayaannya di dalam UUD 1945 pun telah di palsukan dan menjadikannya sampah, bukan malah memperkuat konsolidasi ideologinya tapi malah menghancurkan ideologi bangsanya yang luhur.

Akhirnya apa yang dikuatirkan Surya Paloh tentang rusaknya bangsa ini karena moral bangsa telah kalah dengan “wani piro”. Perhatian Surya Paloh terhadap Kapitalisme dan liberalisme sebagai roh progresif telah merongrong nilai nilai ke-Pancasila-an kita sebagai way of life bangsa yang ramai ramai secara sadar atau tanpa faham kita tinggalkan yang pada akhirnya akan menenggelamkan kita sebagai bangsa.

HOS Cokroaminoto, Sukarno, dan KH. Ahmad Dahlan sejak dari dulu mewanti wanti wanti kepada bangsanya agar mewaspadai bahaya propaganda kapitalism dan liberalism, sudah mulai terlihat faktanya sebagai daya rusak bangsa dalam bentuk proxy war yang nyata bagi bangsa ini.

Pesan memperingati Dirgahayu kemerdekaan Indonesia, adalah bangsa ini harus senantiasa bangkit bergerak menjaga dan membangun Indonesia untuk keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyatnya.

Waspadalah, hari ini kita masih memperingati 74 Tahun Dirgahayu Indonesia, besok bisa jadi anak cucu kita hanya mengenangnya bahwa dulu kakek saya adalah warga negara asli bangsa Indonesia, sebab mereka anak cucu kita tidak lagi sebagai bangsa Indonesia.

Dirgahayu Indonesia! Jayalah seterusnya!