Apa yang Bisa Dipelajari dari FPI & 212: Sebuah Perspektif

Oleh: Dr. Maiyasyak Johan, SH (Mantan Anggota Komisi 3 DPR RI)

“Apa yg bisa dipelajari dari FPI dan 212?”, tanya seorang teman dng sengit padaku. Aku terpana mendengar pertanyaannya, bagaimana tidak, sebab yg bertanya itu seorang yang cukup berpendidikan.

Cukup banyak yang bisa dipelajari dari FPI & 212 – tapi kali ini aku batasi dari apa yang sama-sama bisa kita lihat dan uji.

Pertama: dalam pandanganku, FPI adalah satu-satunya Ormas di Indonesia (bahkan mungkin dunia) yg mengajarkan kita menggunakan “hak politik” yg dijamin konstitusi dengan cara yang paling tertib dan taat hukum. Begitu tertibnya, sehigga jika mau jujur, tidak ada yang paling mubazir dilakukan pemerintah kecuali pengeluaran biaya keamanan dalam menyikapi dan menghadapi aksi-massa yg dilakukan oleh FPI.

Mengapa? bukan hanya tumbuhan, bahkan kebersihan pun mereka jaga – sehingga pemerintah kota dan pegawai kebersihan kota tak perlu mengeluarkan tenaga dan biaya ekstra untuk menanam rumput atau pohon yg rusak ter-injak2 atau untuk mengutip sampah yang berserak.

Mereka memelihara dan menjaga itu semua. Penampilannya tak ada yang sanger dan menakutkan – kecuali bagi yang benci – karena aksi massa yang dilakukan oleh FPI aksi masa terdamai yang membuktikan tingginya adab dan perilaku mereka sebagai orang indonesia yang muslim dan mukmin dalam menjaga ketertiban – dalam berunjuk rasa.

Kedua: Urusan dunia tak boleh meninggalkan atau mengabaikan kewajiban kepada Allah Swt – karena itu kita bisa melihat mereka melakukan sholat berjemaah ketika masuk waku sholat – dengan begitu mereka senantiasa dalam keadaan yang suci (ber-wudhu) dalam waktu yg panjang, walau tentu ada yang bathal (namun kembali mengambil wudhu) – dan senantiasa berzikir serta bersholawat.

Ketiga: menghidupkan solidaritas sosial secara nyata seperti: gotong-royong, bahu-membahu, saling tolong-menolong yg dalam pepatah melayu disebut dengan istilah: berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Tidak ada sponsor yang membiayai aksi-aksi mereka, semua merupakan kerja gotong-royong. Semua yang terlibat “berlomba” menyumbang dan memberikan apa yang bisa diberikan untuk mendukung aksi masa tersebut – selain itu yang mengikuti aksi massa tidak dibayar atau dimobilisasi melainkan mereka membiayai sendiri biaya ke-ikutsertaannya. Ini belum pernah ada yg sanggu melakukannya, bahkan parpol dan ormas lainnya. sebuah partisipasi aktif yang nyata.

Ke-empat: menjadi organisasi yg paling tanggap dalam memberikan reaksi dan bantuan ke daerah yang ditimpa bencana diseluruh Indonesia tanpa memandang suku dan agama. Mereka tidak menanti pujian, mereka tidak mengumbar janji, tetapi mereka memberi bukti dan baktinnya untuk negeri ini.

Mereka berbakti juga mencontohkan akhlak yang tinggi, sekalipun sering dicibir dan dicaci maki – karena mereka dalam berbakti pada negeri ini juga berjuang menjaga akhlak anak-anak kita sebagi generasi penerus agar tidak terjebak atau terperangkap dalam berbagai kemaksiatan yang bersembunyi dalam berbagai tempat yang terang-terangan atau tersembunyi mengedarkan narkoba, minuman keras, pelacuran dan lain sebagainya.

Kelima: mereka tidak pernah memusuhi siapa pun, kecuali kemaksiatan dan kemungkaran. Mereka dengan semua aktivitasnya menyadarkan umat Islam sebagai bagian dari bangsa Indonesia akan tugas dan kewajibannya untuk menjaga negeri ini untuk hidup berdampingan secara damai di atas akhlak yang terpuji. Mereka sangat toleran – tetapi tidak pada kezholiman, kemaksiatan dan semua yang merusak.

Banyak hal lain yang bisa kusampaikan pada kau dari apa yang kupahami tentang FPI dan 212. Namun dalam perspektifku, FPI bukan sekedar asset umat Islam Indonesia, melainkan asset riel bangsa dan negara ini. Bagiku tidak ada alasan untuk tidak mencintai FPI dan 212.

212 adalah simbol solidaritas dan aksi massa yang dilakukan anak bangsa yang paling beradab yang pernah ada.

Aku melihat, pelajaran yang paling berharga dari FPI untuk bangsa ini adalah ketika yang lain masih berbicara tentang toleransi, mereka telah menegakkan ayat al-qur’an yang 14 abad yang lampau diterapkan oleh Rasulullah, yaitu: “la ikroha Fiddin” (tak ada paksaan dalam agama) – sehingga FPI dan 212 toleran pada semua agama, tetapi tidak pd kezoliman dan kemaksiatan. Padahal sebagai umat islam, aku yakin FPI juga yakin seyakin-yakinnya bahwa agama yang diturunkan Allah hanya satu dimuka bumi ini, yi: Islam.

Sikap toleransi itu tidak sama dengan “membenarkan”, melainkan menghormati pilihan – karena itu yang diperintahkan dalam islam – sebab, menjadi “islam” adalah hidayah. Karena itu sepanjang berdirinya FPI ia menghormati perbedaan – dan tidak memaksakan keyakinan.

Ini artinya, sebagai bangsa kita bisa belajar dari FPI dan 212 ttg cara melaksanakan perintah Allah SWT yang tertuang dalam ayat al-qur’an yg berbunyi: “la ikroha fiddin” “tidak ada paksaan dalam agama” atau toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara – juga belajar menjalankan dan memenuhi ketentuan UUD NKRI 1945 sebagaimana termaktub dalam Pasal 29 Jo Pasal 28, Pasal 28 A, Pasal 28 C Ayat (2), Pasal 28 D Ayat (1), Pasal 28 E ayat (1, 2 dan 3), Pasal 28 F, Pasal 28 G, Pasal 28 I, Pasal 28J.

Oleh karena itu, dari uraian di atas bisa dikatakan tak ada alasan, bahkan dari aspek konstitusi, kecuali memperlakukan FPI dengan adil serta mencintainya. Hanya mereka yang tidak suka atas sumbangan nyata FPI, 212 dalam peran-serta umat islam menjaga dan membangun akhlak serta hidup berdampingan dengan damai dalam bingkai NKRI yang memfitnah FPI dng macam2 stigma guna men-cari2 alasan utk mendelete FPI juga 212.
#SaveFPI

Jakarta, Saabtu, 03 Agustus 2019