Rezim Jokowi di Era Post Truth

Nazar El Mahfudzi (IST)

Oleh: Nazar El Mahfudzi
Aktivis 98, pengamat politik hubungan internasional

Rezim Jokowi dalam Era Post Trust telah mendominasi dalam kegiatan Politik Pilpres Sejak 2014 -2019.

Beranjak dari sebuah konsep yang dikembangkan pada era 1960-an Guy Debord (1931-1994), teoritikus politik Marxis asal Prancis menggagas
konsep yg diberi nama”Masyarakat Tontonan”.

Debord menulis The Society of
the Spectacle, sebuah konsep yang memiliki dampak signifikan dalam beragam teori sosial dan budayakontemporer, di mana “masyarakat tontonan” mendeskripsikan tentang media dan
masyarakat konsumen yang melingkupi produksi dan konsumsi citra, komoditas, dan pementasan.

Berdasarkan konsep tersebut, “media spectacle” dapat diartikan sebagai fenomena budaya media yang mewujudkan nilai dasar masyarakat
kontemporer serta menguraikan resolusi konflik.

Media spectacle ini meliputi pertunjukkan dalam
media, olahraga, peristiwa politik, dan segala sesuatu yang mampu menarik perhatian, peristiwa yang sensasional, skandal dan pertarungan politik, perang budaya berkepanjangan, dan fenomena
baru seperti perang terhadap; Terorisme, IslamGaris Keras, Khilafah DLL (Kellner, 2003: 2).

Pencitraan adalah cara membangun citra atau gambaran diri seseorang kedalam produk komoditas.

Dalam dunia periklanan ada dua
teknik utama yang dipakai para pembuat iklan untuk memasukkan iklan ke dalam tatanan pemikiran sosial disebut sebagai positioning dan penciptaan citra.

Positioning, penempatan
atau disasarkannya suatu komoditas untuk orang-orang yang tepat.

Dalam iklan kampanye politiknya, Jokowi digambarkan sebagai sosok
yang sangat memperhatikan persoalan-persoalan infrastruktur, khususnya masyarakat ekonomi dan investasi sebagai prasarana masyarakat dalam pembangunan.

Didalam upaya membangun citra sebuah produk terdapat pembentukan “kepribadian”
yang dengannya para konsumen tertentu bisa dengan mudah melakukan identifikasi.

Era Post Truth dalam rezim Jokowi tak ubahnya kemasan, logo, harga dan seluruh penampilan sebuah produk menciptakan karakter yang bisa dikenali yang dimaksudkan untuk menaikan satu jenis elektabilitas.

Jelas bahwa gagasan di balik penciptaan citra bagi sebuah produk adalah upaya untuk berbicara secara langsung ke satu jenis pribadi tertentu, bukan ke setiap orang sehingga para individu ini bisa
melihat kepribadian mereka terwakili dalam citra gaya hidup yang diciptakan oleh iklan dari satu
produk tertentu.

Pencitraan tertanam semakin dalam melalui teknik mitologisasi.Strategi untuk secara sengaja mengaitkan nama, logo, rancangan, produk, iklan, dan komersial suatu merek dengan makna mitis tertentu. (Danesi
2010: 227).

Kemaasan yang baik belum tentu menampilkan citra rasa yang baik, tetapi setidaknya menjadi nilai jual yang cukup tinggi dalam mengambil alih kepercayaan luar negeri untuk menampakan investasi dan hutang pembangunan negara seolah stabil.