RIB: Narasi Pilpres Harus Mencerdaskan dan Beradab

Islam dan politik merupakan dua kata yang secara prinsip berbeda. Islam adalah tuntunan seluruh aspek kehidupan manusia, sedangkan politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.

Jika digabungkan, Islam dan politik adalah bagaimana tuntunan agama agar dapat mengatur kekuasaan dalam bernegara. Konsep itu dijelaskan Ketua Umum Rumah Indonesia Berkemajuan (RIB) M. Khoirul Muttaqin dalam diskusi bertajuk ‘Arah Baru Politik Islam Modern’ di Voltaire Koffee Matraman Jakarta Timur, Kamis (24/1).

Politik, kata Khoirul, merupakan alat untuk memperjuangkan nilai-nilai sehingga cara yang digunakan untuk memperoleh dan mengatur kekuasaan harus menjunjung tinggi nilai keadaban.

“Dalam kontestasi seperti Pilpres yang menguras banyak energi dan emosi, Timses maupun masyarakat harus membangun narasi kampanye yang ceria, mencerdaskan, kreatif, sopan dan beradab,” kata Khoirul yang juga merupakan Aktivis Muda Muhammadiyah.

Ketua Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM Pradana Boy melihat situasi yang berkembang dalam politik Indonesia saat ini merupakan rejuvenasi hubungan Islam dan negara pada masa awal Orde Baru.

Rujevenasi, kata dia, bisa diartikan sebagai pengulangan dalam wujud yang berbeda atas sesuatu yang sama. Pada masa awal Orde Baru hubungan Islam dan negara bersifat antagonistik.

“Antagonisme itu dipicu oleh persoalan representasi politik, ketidakadilan hukum, marjinalisasi umat Islam oleh rezim, masalah akomodasi terhadap kelompok minoritas dan moralitas publik,” ujar Pradana Boy.

Analis Politik IndoStrategi Arif Nurul Iman menilai arus Islam modern saat ini masih sekedar aktual, tapi belum potensial. Arus islam moderat, kata dia, harus memenuhi ruang-ruang publik dengan narasi-narasi modern selama ini yang justru di dominasi oleh konten-konten arus konservatif.

“Karena itulah Islam modern perlu masuk dalam ruang wacana,” ujarnya.