Pedagang Pasar Rakyat Paciran Lamongan Keluhkan Ada Uang Pungutan Rp2 Juta

Sebagian besar pedagang Pasar Rakyat Paciran, mengeluhkan terkait adanya pungutan biaya yang dikenakan oleh pengurus pasar kepada para pedagang yang nilainya mencapai jutaan rupiah per stand. Mereka mengatakan, jika biaya yang dibebankan itu tak seimbang dengan besaran penghasilan yang didapatkan, lantaran minimnya tingkat pengunjung yang berbelanja di pasar tersebut.

“Memang belum ada yang bayar. Tapi sempat ada edaran dari BUMDES yang diantarkan kerumah-rumah pedagang, yang menginformasikan terkait proses pembayaran dana partisipasi dalam pemanfaatan lahan tanah untuk berdagang, dalam hal ini adalah pasar rakyat Paciran,” ungkap salah satu pedagang, Dani, yang juga memiliki lapak di pasar tersebut, Senin (17/12).

Seharusnya, masih menurut Dani, jika ada pungutan harusnya sosialisasi terlebih dulu.

“Kalaupun ada keberatan, kami juga bisa mengatakan, dan semua harus berdasarkan musyawarah mufakat. Jadi gak tiba-tiba dikasih edaran, dan diminta untuk membayar dengan teknis pembayaran yang juga disebutkan di edaran itu, kalau di bayar cash lewat petugas penarikan, tapi kalau di cicil bayarnya lewat rekening bank yang ditunjuk,” ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Afiliasi Pedagang Indonesia (Alpindo) Kabupaten Lamongan, David Budiansyah, mengatakan, jika dalam hal ini pengurus pasar maupun pemerintah desa setempat, diharapkan untuk lebih meningkatkan koordinasi, terutama dalam hal kegiatan serta transparansi penarikan dan penggunaan anggaran bersama para pedagang. Hal itu dilakukan, agar tidak menimbulkan pertanyaan bagi para pedagang khususnya yang mempunyai lapak di pasar rakyat Paciran.

“Meminta iuran itu wajar asalkan itu demi kebaikan pedagang. Namun semuanya harus melalui musyawarah dan kesepakatan. Pedagang lebih tahu seberapa besar penghasilannya dan berapa yang mampu mereka bayarkan. Serta yang harus diperhatikan terkait komitmen. Karena dengan biaya-biaya yang dikenakan itu, apa jaminan untuk pedagang supaya mereka bisa menempati lapak itu? dan berapa lama mereka bisa menempatinya? Apalagi di surat edaran itu tertulis biaya partisipasi, yang bisa di artikan sukarela. Sementara kalau kita bicara sukarela ya seikhlasnya. Dan itu harus dipertegas, supaya tidak terjadi konflik di kemudian harinya. Khawatirnya semisal suatu hari ada pedagang lain yang ingin menempati lapak mereka, maka pedagang yang lama tak memiliki landasan yang kuat untuk mempertahankan lapak mereka. Karena itu adalah pasar rakyat Paciran, yang sifatnya milik umum,” jelas David.

Selain itu, dirinya juga mengatakan jika selama ini pemerintah desa setempat dianggap masih kurang inovatif dalam hal pengelolahan pasar yang habis dibangun dengan anggaran miliaran rupiah pada tahun 2017 lalu.

“Saya yakin jika hal itu diterapkan di pasar lainnya pasti keberatan. Apalagi saya dapat info ada lembaran kedua yang diberikan kepada pedagang yakni surat Data Registrasi, yang jelas-jelas disitu dicantumkan nilai uang yang harus dibayar yakni sebesar 2 juta rupiah dengan 2 sistem pembayaran. Infonya juga biaya-biaya pungutan itu akan dipergunakan untuk menutupi biaya urugkan pembangunan pasar 2017 lalu. Kalau memang benar ya silahkan saja, tapi jangan sepenuhnya dibebankan pada pedagang. Pemerintah desa atau pengolah pasar harus lebih inovatif, mungkin dengan menggandeng donatur baik swasta atau investor lainnya. Apalagi katanya pasar itu akan digunakan untuk pasar wisata. Tapi kalau pengelolahannya seperti ini ya saya rasa akan sulit. Dan perlu diingat, pedagang tidak pernah meminta pasar itu dibangun. Pedagang justru lebih hoki dengan suasana pasar yang lama. Jadi jangan paksa mereka dengan beban baru yang seharusnya tidak mereka rasakan. Kalau memang ada pihak-pihak yang merasa dirinyalah yang berjuang atas pembangunan pasar itu, ya minta saja kepada orang itu untuk nalangin biaya urugkan. Prestasi kok bebankan rakyat,” pungkasnya. (Rinto)