Pengamat: BIN Dinilai seperti Humas Ormas Tertentu & Bermanuver Politik

Badan Intelijen Negara (BIN) mengungkap 50 penceramah/mubaligh dan 41 masjid terpapar radikalisme berdasarkan kajian sebuah lembaga swasta yang keterujian publiknya masih belum jelas.

Demikian dikatakan pengamat politik M Rizal Fadillah dalam pernyataan kepada wartawan. “BIN menempatkan diri seolah olah sebagai “divisi humas” dari lembaga tersebut,” kata Rizal.

BIN mengungkap adanya 50 mubaligh atau ulama radikal di 41 Masjid instansi Pemerintah berdasarkan hasil kajian P3M NU.

Kata Rizal, BIN bukan lembaga negara yang fungsinya bermanuver politik. Apalagi ungkapan yang menimbulkan pertanyaan lanjutan. Tantangan untuk membuka oleh DPR adalah masalah tersendiri. Implikasinya psikologis, politis, mungkin juga yuridis.

Menurut Rizal pengungkapan 50 penceramah sebagai penyebar radikalisme, menjadi bola liar yang bisa ditendang sana sini oleh banyak pihak.

“Tidak edukatif. 50 penceramah jika dibuka siapa mereka, bisa melakukan langkah pembelaan hukum. Suatu kualifikasi atau predikat, apalagi membahayakan publik, mestilah berdasarkan hukum,” ungkapnya.

Rizal mengatakan, tak boleh seseorang dihukum oleh opini, media, atau BIN sekalipun. Lembaga peradilan lah yang paling berhak.

“Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan, bukan negara persekusi, bukan pula negara intel,” paparnya.

Ia mengatakan, undang undang telah mengatur soal radikalisme, ujaran kebencian, atau diskriminasi. Jika terjadi, maka biarlah proses hukum berjalan secara obyektif dan terbuka.

“Masyarakat dapat ikut menilai sejauh mana kejahatan itu telah terjadi, tidak semata kriminalisasi,” papar Rizal.