Lieus Sungkharisma: Pak Jokowi Sendiri yang Menyebabkan Lahirnya Politisi Gendoruwo

Lieus Sungkharisma (IST)

Pernyataan Presiden Jokowi soal ‘politik genderuwo’ yang disampaikannya dalam pidato saat pembagian sertifikat tanah untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (9/11/2018), langsung mendapat reaksi keras dari berbagai pihak. Salah satu reaksi itu datang dari koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma.

Menurut Lieus, ini bukan kali pertama Presiden Jokowi melontarkan pernyataan kontroversial. Beberapa waktu lalu, kata Lieus, saat membagikan 5000 sertifikat hak atas tanah untuk masyarakat di Lapangan Sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jokowi juga melontarkan pernyataan kontroversial dengan menyebut politisi sontoloyo.

“Saya pikir hanya beliau sendirilah yang tau apa tujuan dari pernyataan-pernyataan yang menggunakan istilah-istilah tidak lazim itu. Yang jelas, pernyataan-pernyataan seperti itu membuat kehidupan politik dalam negeri kita semakin gaduh,” kata Lieus.

Ditambahkan Lieus, pernyataan seorang presiden seharusnya membuat kehidupan berbangsa dan bernegara kita menjadi sejuk, bukan sebaliknya malah membuat gaduh.

“Kalau pernyataan seorang Presiden membuat rakyat jadi semakin gaduh, pasti ada yang salah dalam cara berkomunikasi Presiden yang bersangkutan. Kesalahan itu harus diluruskan. Tidak boleh dibiarkan terus,” katanya.

Terkait pernyataan Presiden Jokowi perihal banyak politikus yang melakukan propaganda menakutkan, membuat ketakutan, kekhawatiran sehingga disamakannya dengan Gendoruwo, dijawab Lieus dengan menyebut penyebabnya justru terletak pada Presiden Jokowi sendiri.

“Banyak janji-janji pak Jokowi yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan saat menjelang dan sesudah Pilpres 2014, baik menyangkut ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, kebudayaan dan lain-lain, tidak terpenuhi hingga saat ini. Setelah menjabat pun kebijakan pak Jokowi pun banyak yang tidak pro rakyat kecil.

Keadaan itulah yang memicu para pengamat dan politisi mengkritisinya. Jadi saya pikir itu yang dilakukan para politisi dan pengamat itu adalah mengkritisi, bukan menakuti,” katanya.

Sikap kritis itu, ujar Lieus lagi, muncul akibat kinerja kabinetnya yang buruk.

“Bayangkan saja, ketika rakyat teriak daging mahal, malah disuruh makan keong. Ketika harga cabe tak terjangkau, malah disuruh nanam sendiri. Inikan gak benar,” katanya.

Ditambahkan Lieus, dari dua pernyataan Presiden Jokowi yang mengundang “kegaduhan” itu, masyarakat bisa mengambil kesimpulan bahwa Presiden Jokowi memang tidak boleh dibiarkan bicara di depan publik tanpa teks.

“Dalam setiap event yang dihadiri Presiden, seharusnya tim Kepresidenan menyiapkan pidato tertulis untuk Presiden Jokowi sehingga pernyataannya sebagai Presiden tidak lari kemana kemana-mana dan menjadi bola liar yang semakin memanaskan suasana,” ujar Lieus.

Fakta tahun ini adalah tahun politik, kata Lieus lagi, tidak bisa membenarkan seorang Presiden ngomong apa saja seenaknya.

“Memang sah-sah saja pak Jokowi sebagai calon Presiden yang akan bertarung lagi di Pilpres 2019 melakukan berbagai cara untuk menghantam lawan-lawan politiknya. Tapi janganlah upaya mempertahankan kekuasaan itu membuat rakyat jadi semakin bingung dan terpecah belah,” ujar Lieus.

“Menurt saya, adalah sangat bijaksana kalau pak Jokowi, dalam posisinya yang masih menjabat sebagai Presiden saat ini, mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyejukkan hati, bukan malah memprovokasi,” tegas Lieus.