Pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali, Ada Kepentingan Hitam Industri Tambang & Merusak Lingkungan

Pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali menjadi ajang invenstasi lahan dalam skala besar, yang akan menggusur masyarakat dan berlanjutnya masalah-masalah lingkungan.

Demikian dikatakan Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah, Ahad (14/10).

Pertemuan ini justru menjadi pintu masuk bagi investasi berbasis lahan skala besar, di mana rakyat dan lingkungan akan terus menjadi korban,” kritik Merah dalam keterangannya di Jakarta.

Lihat saja, ulas dia, rangkuman signing ceremony yang dilakukan sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam acara Indonesia Investement Forum 2018 yang diselenggarakan bersamaan dengan Pertemuan IMF-World Bank Group 2018 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, Kamis (11/10) lalu.

Salah satu kesepakatan yang dihasilkan dalam forum ini adalah ditandatanganinya investasi dan utang baru 13,2 miliar dolar AS atau 200 triliun rupiah bagi 14 BUMN.

“Di mana sektor tambang dan energi menempati porsi terbesar dari kucuran investasi dan utang tersebut yakni 7,7 miliar dolar Amerika,” sebutnya.

Besarnya investasi dan utang IMF-WB yang dikucurkan pada sektor pertambangan, migas dan energi, menurut dia, menunjukkan pertemuan yang menghamburkan nyaris 1 triliun rupiah itu berlumur kepentingan industri pertambangan.

Salah satunya terkait Head of Agreement (HoA) antara PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dengan Ocean Energy Nickel International Pty Ltd (OENI), di mana Antam akan menyediakan pasokan biji nikel yang stabil untuk proyek NPI Blast Furnac di Halmahera, Maluku Utara.

“Kesepakatan ini tentu saja mempertaruhkan keselamatan rakyat dan lingkungan, sebab jejak buruk PT Antam sendiri begitu nyata,” ujar Merah.

Jatam mencatat, aktvitas pertambangan PT Antam yang memiliki 55 konsesi tersebar di Maluku Utara, Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Papua, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Bengkulu.

Di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, misalnya, PT Antam meninggalkan kerusakan yang tak terpulihkan. Kini, pulau kecil itu terus dikeruk oleh PT Fajar Bakti Lintas Nusantara (FBLN). Selain itu, di Halmahera Timur, Pulau Gee, sebuah kotraktor PT Antam, yakni PT Geomin melakukan ekstraksi pertambangan. Bahkan pada 2003, di teluk Buli, PT Antam juga datang mengkapling.

“Cerita tentang kejayaan cengkeh dan pala berubah menjadi cerita tentang pertambangan nikel, emas, bauksit, batubara, bahkan perkebunan monokultur seperti kelapa sawit,” tuturnya.

Bahkan, penggusuran dan pengusiran penduduk dari tahan-tanah ulayat, perampasan air dan intimidasi terhadap warga terus terjadi.

“Hampir semua sistem lokal dan cara pandang orang Halmahera terhadap ruang hidupnya sendiri diporakporanda,” lanjutnya lagi.

Pada 2010, Kejaksaan Agung menetapkan dua tersangka, yakni Direktur Niaga PT Bukit Asam, Tiendas Mangeka dan Direktur Operasi/Produksi, Milawarma dengan kasus korupsi pengadaan floating crane untuk jasa bongkar muat di Pelabuhan Tarahan, Lampung.