Ngeri, Garuda Indonesia Alami Kerugian Rp 1,6 Triliun

Garuda Indonesia mencatatkan kerugian US$ 114 juta (sekitar Rp 1,64 triliun) pada semester I-2018. Kerugian itu diklaim menurun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 283,8 juta (Rp 3,77 triliun dengan kurs Rp 13.400).

Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala Mansury mengatakan, kerugian dipicu lonjakan beban operasional seperti biaya bahan bakar avtur yang naik 12 persen dan depresiasi rupiah terhadap dolar AS. Kebutuhan avtur memengaruhi biaya operasional mencapai 35 persen dengan nilai US$ 639,7 juta. “Akibat kedua hal tersebut yang mengubah rencana produksi kami,” kata Pahala di Jakarta, Senin (30/7).

Menurut Pahala, depresiasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar avtur memicu biaya ekspansi Garuda Indonesia terpengaruh hingga 4 persen. Sebanyak 22 rute domestik dan internasional dievaluasi karena masih membebani operasional. Sebanyak 11 rute sudah direstrukturisasi, ada yang hentikan dan diganti dengan rute baru. “Masih 11 rute yang tidak terpenuhi biaya operasionalnya,” ujarnya.

Untuk menekan kerugian, maskapai pelat merah ini menurunkan biaya per kursi agar menekan biaya yang dikeluarkan akibat beban bahan bakar. Sumber pendapatan lain masih akan dioptimalkan untuk mengimbangi kenaikan biaya operasional yang terjadi tahun ini.

Garuda Indonesia mencatat pendapatan operasional pada semester 1-2018 sebesar US$ 1,9 miliar dengan pertumbuhan sebesar 5,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 1,8 miliar.

“Capaian pertumbuhan pendapatan operasional ini tentunya menjadi momentum tersendiri bagi perseroan untuk terus memperkuat kinerja operasional di tengah iklim industri penerbangan yang tengah tertekan imbas fluktuasi perekonomian dunia,” katanya.

Saat ini Garuda Indonesia melayani penerbangan ke lebih dari 90 destinasi terdiri dari 22 destinasi internasional dan 68 destinasi domestik.

Direktur AIAC Indonesia Arista Atmadjati mengatakan, faktor internal memicu keterpurukan keuangan maskapai tersebut, selain dampak avtur dan depresiasi rupiah. Struktur organisasi di tingkat pusat memicu biaya membengkak. Tiga tahun terakhir, Garuda Indonesia merugi hingga triliunan rupiah.

“Organisasi di pusat, (jumlah) direksi menjadi tidak relevan dan tidak logis secara kebijaksanaan bisnis. Garuda Indonesia tidak punya sense of crisis di semua lini,” ujarnya.