Rezim Joko Widodo (Jokowi) telah berbohong dengan mengatakan telah menguasai saham mayoritas PT Freeport.
“Kesepakatan tersebut ada beberapa fakta yang bisa dilihat bahwa negosiasi RI dan Freeport belum selesai,” kata Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Drajad Wibowo dalam pernyataan kepada wartawan, Jumat (13/7).
Pertama, kata Drajad, apa yang sudah disepakati lebih pada soal harga dari tiga pihak yaitu Inalum, Freeport-McMoRan Inc dan Rio Tinto sepakat pada harga US$3,85 miliar atau sekitar Rp55 triliun.
Menurut dia, ini adalah harga bagi pelepasan hak partisipasi Rio Tinto, plus saham FCX di FI. Rio Tinto sendiri terlibat dalam negosiasi karena berjoint venture dengan FCX, di mana hingga 2021 berhak atas 40 persen dari produksi di atas level tertentu dan 40 persen dari semua produksi sejak 2022.
“Gampangnya, meskipun FCX pemilik mayoritas FI, tapi 40 persen produksinya sudah diijonkan ke Rio Tinto. Jadi selain saham FCX di FI, Indonesia juga harus membeli hak ijon ini,” jelasnya.
Fakta kedua menurut Drajat adalah Freeport belum direbut kembali dan transaksi ini masih jauh dari tuntas. Karena, pihak FCX dan Rio Tinto menyebut, masih ada isu-isu besar yang belum disepakati.
Isu besar itu lanjut dia, yaitu hak jangka panjang FCX di Freeport Indonesia (FI) hingga 2041, butir-butir yang menjamin FCX tetap memegang kontrol operasional atas FI meskipun tidak menjadi pemegang saham mayoritas, dan kesepakatan isu lingkungan hidup, termasuk limbah tailing.
Lalu fakta ketiga, tercapainya kesepakatan harga saat ini, diduga bahwa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) FI habis pada 4 Juli 2018 dan melalui revisi SK Nomor 413K/30/MEM/2017, IUPK diperpanjang hingga 31 Juli 2018.
Sementara itu, Drajat mengungkapkan terkait fakta harga FI mahal atau tidak dirinya tidak bisa menjawab, sebab sejak lama Rio Tinto pasang harga di US$3,5 miliar.
Sehingga, kata dia, bisa dilihat perbandingannya dengan apa yang sudah dikerjakan sebelumnya saat mengambil Inalum dari Jepang. Dimana saat harga tawar dan pembelian akhirnya membuat Jepang takluk.
“NAA (Nippon Asahan Aluminium) ngotot dengan harga US$626 juta. Tapi pemerintah ngotot US$558 juta. Jadi ada selisih US$ 68juta. Jepang akhirnya takluk. Dan sekarang memang sulit kalahkan koalisi AS, Inggris dan Australia.”
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan,dari perspektif hukum ada beberapa alasan yang menelatarbelakangi hal itu.
Apalagi, head of agreement (HoA) bukanlah perjanjian jual beli saham. HoA merupakan perjanjian payung sehingga mengatur hal-hal prinsip saja.
HoA akan ditindaklanjuti dengan sejumlah perjanjian. Perjanjian yang harus dilakukan agar pemerintah benar-benar memiliki 51% adalah perjanjian jual beli participating rights antara Rio Rinto dengan Pemerintah yang nantinya dikonversi menjadi saham sebesar 40% di PT FI.
Setelah itu, ditindaklanjuti dengan perjanjian jual beli saham antara Pemerintah dengan Freeport McMoran sejumlah 5,4%.
Perjanjian-perjanjian tersebut harus dicermati karena bagi lawyer, ada adagium yang mengatakan ‘the devil is on the detail’ (setannya ada di masalah detail).
“Kerap bagi negosiator Indonesia mereka akan cukup puas dengan hal-hal yang umum saja,” kata dia