Era Jokowi, Maskapai Garuda Indonesia Alami Kebangkrutan

Garuda Indonesia (IST)

Maskapai Garuda Indonesia di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengalami kerugiaan dan penurunan penumpang.

“Garuda ditaksir merugi sampai Rp 2 triliun pada akhirnya tahun 2017, dan Pada akhir maret 2018 Garuda Indonesia juga Rugi sampai sebanyak USD 67.572.839 atau setara dengan Rp.878.446.907.000,” kata Koordinator Investigasi Center for Budget Analysis (CBA) Jajang Nurjaman, Sabtu (12/5).

Kata Jajang, sangat disayangkan karena maskapai kebanggaan masyarakat Indonesia nasibnya terseok-seok jauh tertinggal dari maskapai milik negara tetangga seperti Singapura Airlines.

Meskipun sudah diisi Dirut baru yakni Pahala N Mansury, di tahun selanjutnya 2017 kinerja Garuda Indonesia masih terseok-seok.

“Pertumbuhan penumpang di tahun 2017 masih mandeg di angka 2.936.181. Masih sangat jauh dari pencapaian 2013-2014 sebanyak 4.174.038 orang,” ungkapnya.

Baca juga:  Sebut 5 Pahlawan RI KAFIR pada Pecahan Mata Uang Baru, Kader Wanita PKS Dilaporkan Polisi

Kata Jajang, lebih parah lagi pertumbuhan penumpang di tahun 2015 ke 2016, di mana Garuda hanya sanggup menambah 2.038.820 penumpang.

“Ini berarti maskapai penerbangan milik negara ini kehilangan pelanggan sebanyak 1.782.930,” ungkapnya.

Jajang mengatakan, 16, garuda benar-benar jatuh. Bahkan Rini Soemarno Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sampai turun tangan dengan mengganti direktur utama (Dirut) Garuda Indonesia Arif Wibowo.

Selain itu, ia menyoroti besarnya gaji direksi Garuda Indonesia yang tidak meningkatkan maskpai plat merah itu.

“Pada 2016 badan usaha milik negara ini perbulannya butuh Rp 1,7 miliar hanya untuk gaji satu orang direktur. Dengan jumlah 4 orang direktur saat itu, uang negara yang dikeluarkan dalam satu tahun sampai Rp 20 miliar hanya untuk gaji belum tunjangan lainnya,” pungkasnya.

Baca juga:  Bang Japar Jaktim Tolak Investasi Miras di Indonesia

Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala N Mansury, mengungkapkan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan maskapai berpelat merah ini mengalami kerugian. Pertama membengkaknya total pengeluaran yang naik 13 persen dari USD 3,7 miliar menjadi USD 4,25 miliar.

Menurutnya, kenaikan yang paling besar dari biaya bahan bakar yang naik 25 persen dari USD 924 juta menjadi USD 1,15 miliar.

“Untuk fuel terkait sama harganya. Tapi sebenarnya bukan hanya karena peningkatan harganya tapi juga produksi (pesawat) meningkat jadi volume konsumsi bahan bakar juga naik,” ujarnya di Kantor Garuda Indonesia Kebon Sirih, Jakarta, Senin (26/2).