Belajar dari China atau Dibodohi China?

Presiden Jokowi dan Presiden China Xi Jinping

Oleh: Baher Nugroho*

SUDAH menjadi realitas tak terbantahkan, jika Indonesia di bawah  kepemimpinan Rezim Jokowi – JK kini ‘berkiblat ke China’. Media massa baru-baru ini juga mem blow up kunjungan Jokowi menghadap Presiden China Xi Jinping. Ini juga yang membuat saya yang selama ini agak kurang sempat menulis panjang, mencoba meluangkan waktu dalam kondisi tubuh yang kurang fit.

Sebab, dalam banyak diskusi, banyak yang masih “terpesona” dengan China tanpa mau sedikit menelisik apa sesunguhnya di balik itu semua.

Tentu jika benar-benar orientasinya ingin menjadikan Indonesia seperti China yang terus bertumbuh menjadi ‘Pesaing’ Amerika Serikat. Itu tentu positif-positif saja.

China memang diakui dunia hebat dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, setelah Deng Xiaoping  masuk partai komunis dan mengadopsi sistem kapitalis. Tepatnya, apa yang disebut Robert Gilpin, sebagai transformasionalis, mainstream New Right. Bahwa globalisais yang tengah berlangsung saat ini menyusun kembali kekuasaan, fungsi, dan otoritas pemerintahan nasional. Pemerintah nasional diperlukan namun hadir dalam bentuk yang berbeda.

Beberapa sumber mencatat, sejak Deng Berkuasa, pertumbuhan ekonomi China sekitar 9 persen per tahun. Bahkan, ktika Negara-negara Asia Timur mengalami krisis ekonomi dan moneter yang dahsyat (missal pada 1997),China tetap tumbuh dengan meyakinkan. Demikian juga ketika Negara dengan sumber ekonomi terbesar, seperti AS, mengalami kebangkrutan ekonomi China juga tetap mengalami pertumbuhan yang meyakinkan meskipun sempat mengalami penurunan. Namun, China mampu melakukan recovery dengan cepat. Pada tahun 2009, pertumbuhan tersebut terus berlanjut sebagaimana diprediksikan oleh ekonomi Martin Wolf.

Deng juga ketat dalam menjaga Stabilitas politik. Ia percaya, Stabilitas politik  merupakan salah satu factor penting keberhasilan pembangunan ekonomi. Setidaknya, inilah yang dikemukakan oleh banyak ahli dalam menganalisis akar penyebab keberhasilan pembangunan China. Pilihan-pilihan reformasi China adalah bidang ekonomi dan sosial, tetapi tidak dalam bidang politik.

Legiminasi  pemerintah China dibangun melalui usaha bagaimana  meningkatkan  pendapatan dan kesejahteraan rakyat.

Bagaimana dengan Jokowi JK? Mari kita coba lihat;

Pertama, soal pertumbuhan dan iklim ekonomi nasional. Pemerintah selalu ‘ngeles’ karena pengaruh ekonomi dunia. Ini berbeda sekali dengan Deng yang menyadari dengan Nasionalisme China namun mencoba merangkul semua kalangan yang sebelumnya ‘anti Mao’. Ia memberikan fasilitas untuk rakyatnya untuk bersatu, berinovasi agar mampu berdaya saing. Meski di sisi lain membuka lebar keran investasi asing, namun Negara berperan melakukan proteksi terhadap usaha rakyat. Sehingga meski ada investor (pemodal) asing, namun rakyat China tidak begitu saja dieksploitasi. Buktinya, China juga menjadi sumber-sumber pemasok besar bagi perusahaan-perusahaan besar semacam Wall-Mart.

Kalau Indonesia? Bukannya meningkatkan penghasilan rakyat malah memperburuk dengan inflasi dan daya beli rendah, diberlakukannya kapitalisasi sumber energy (Lpg, Lisrik, BBM mahal tanpa subsidi).

Rasionalisasi dari persaingan bisnis global direfleksikan dalam bentuk kemampuan hasil produksi untuk bersaing di dalam pasar global. Kemampuan bersaing tersebut  dilihat dari kemampuan hasil produksi untuk menguasai pangsa pasar global secara proporsional sesuai dengan tingkat kemampuan rata-ratapesaing internasional. (Heflin Frinces P.Hd , 2011).

Nah bagaimana mungkin bisa produktif, diproteksi saja ngga, akses  modal sulit, suku bunga tinggi, sementara pemodal asing diberi karper merah?

Keberhasilan kebijakan pembangunan China terwujud karena Negara mampu secara konsisten memberikan panduan selama proses reformasi dan sekaligus melakukan control atas mayoritas insustri dan membongkar hambatan-hamabatan keuangan sector-sektor public yang tidak efisien secara bertahap.

Bandingkan dengan Jokowi  JK ; Nggak Ada Stabilitas Politik, Ribut mulu, yang ngritik (kontra) malah didiskriminalisasi, produktif sekali subsidi ‘kompor’ isu-isu dagelan ditengah inflasi, daya beli rendah, dan  usaha rakyat ngga diproteksi. Seolah ngga ada masalah Kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.

Di sisi lain, China yang ‘kadung besar kepala’ menjadi kekuatan ekonomi dunia tentu butuh Indonesia bukan menjadi ‘pesaing’ yang ada justru menjadikannya sebagai penguat dengan dihisap segala sumber dayanya.

Wajar dong kalau kemudian ada pertanyaan Indonesia sebenarnya mau belajar dari China apa mau dibodohi China Asing-Aseng Neolib?

Salam Kebangkitan Pribumi !!! [*]

*Presiden Gerakan Kebangkitan Pribumi Indonesia