Muhammadiyah Nilai Pemimpin Indonesia seperti “Petruk Dadi Ratu”, Sindir Jokowi?

 Abdul Mu'ti
Abdul Mu’ti-Muhammadiyah

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai banyak pemimpin Indonesia dari tingkat daerah hingga pusat yang belum siap untuk menampuk tanggung jawab. Mereka ibarat cerita pewayangan Petruk Dadi Ratu.

“Petruk Dadi Ratu mencontohkan menjadi pemimpin, tapi tidak siap. Kemudian tidak menjalankan aturan sebagai mana mestinya, tidak mematuhi kode etik dan norma sosial yang seharusnya dijalankan,” kata Abdul Mu’ti dalam dialog pada Rapat Kerja Nasional PKS 2017 di Hotel Bumi Wiyata Depok, Selasa (7/3).

Lakon Petruk Dadi Ratu sebagai sebuah simbol ketidakbecusan pemimpin, atau seorang yang tidak layak menjadi pemimpin, tapi dipaksakan menjadi pemimpin. Hasilnya adalah malah menimbulkan kekacauan.

Menurutnya, akibat banyak pemimpin yang dilihatnya sebagai kepemimpinan Petruk Dadi Ratu, negara dan moralitas menjadi kacau. Bahkan, Petruk Dadi Ratu merupakan fenomena yang benar-benar terjadi di Indonesia, di banyak struktur.

“Bukan cuma pusat, tapi daerah. Ada juga di kementerian, ada yang di Parpol,” ujarnya. “Dinasti politik juga bagian dari Petruk Dadi Ratu, karena mengatur sedemikian rupa aturan dan berkuasa sedemikan rupanya.”

Abdul Mu’ti berharap Indonesia mempunyai pemimpin yang kuat dan konsisten terhadap undang-undang dan peraturan. Selain itu, dibutuhkan pemimpin yang menjunjung tinggi norma-norma yang menjadi karakter dan identitas suatu bangsa.

Menurut dia, tidak sedikit kepala daerah yang juga berprestasi dari tingkat kabupaten, kota sampai provinsi. Ia tidak menutup realitas, bahwa otonomi membawa percepatan kemakmuran. “Tapi, ada juga otonomi yang tidak membuat kota lebih baik,” ucapnya.

Untuk mencegah terciptanya pemimpin Petruk Dadi Ratu, diperlukan kontrak dari masyarakat sipil agar pemerintahan berlangsung dengan baik. “Jangan cuma memberi cek kosong, tapi harus diatur dan diawasi regulasinya.”

Selain itu, ia melihat banyak pemimpin di Indonesia, hasil dari rekayasa segelintir orang. Mereka menentukan orang yang menjadi pemimpin, karena mempunyai kekuatan finansial.

Pemilik modal, kata dia, bisa mengendalikan dan membeli kekuasaan serta jabatan dengan uang mereka. Sehingga orang yang mempunyai integritas dan kapasitas tersingkir. “Harus didorong agar demokrasi di Indonesia lebih subtantif, bukan demokrasi prosedural,” ujarnya