Alhamdulillah, Akhirnya Rizal Ramli ‘Nyagub’ Juga…

Rizal Ramli – Ist


“Begitu banyaknya desakan dari berbagai lapisan masyarakat. Dengan berbagai pertimbangan yang matang, maka saya memutuskan siap maju Pilkada DKI,” ujar Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya, di Jakarta, Rabu (31/08) malam.

Pernyataan tokoh Gerakan Anti Kebodohan tahun 1978an yang pernah mendekam di Lapas Sukamiskin pada masa Orde Baru tersebut sudah lama ditunggu-tunggu banyak kalangan. Selepas dicopot sebagai Menko, tamu yang menyambanginya memang seakan tiada henti, baik di kediaman pribadi maupun di kantorya. Mereka datang bergelombang, dari segala latar belakang pendidikan, profesi, dan status sosial.


Ada kalangan buruh, politisi, pengusaha, dan tentu saja,  rakyat jelata. Yang disebut terakhir ini benar-benar beragam. Antara lain warga Kampung Akuarium, Pasar Ikan, Jakut. Masih dari kalangan akar rumput, para pedagang Pasar Rumput, Jaksel, juga menyambanginya. Waktunya pun tidak hanya ‘jam kerja.’ Pagi, siang,  sore, bahkan malam seolah tak soal. Sebagian dari mereka malah datang tanpa janji sama sekali.


Siapa pun tamunya, apa pun latar belakangnya, mereka menemui Rizal Ramli dengan membawa pesan yang sama. Memintanya maju dalam Pilkada DKI. Ya, mereka berharap lelaki yang akrab disapa RR itu mau menjadi Gubernur DKI, gubernur yang menyayangi dan disayangi warga Jakarta.


Bukan tanpa alasan jika dukungan, permintaan, dan ‘tuntutan’ agar RR nyalon Gubernur datang membanjir. Rekam jejak Menko Perekonomian dan Menkeu era Presiden Abdurrahaman Wahid ini dalam membela wong cilik memang tidak diragukan lagi. Perjuangannya dalam mengusung ekonomi konstitusi sebagai lawan dari mazhab ekonomi neolib juga tidak pernah surut.


Prinsip ini dibarengi dengan kapasitasnya dalam menangani berbagai persoalan ekonomi, baik makro maupun mikro. Ditambah dengan integritasnya berupa satunya ucap dan laku, dia benar-benar menjadi ‘barang langka’ di tengah onggokan para elit birokrasi dan ekonomi yang menyesaki atmosfir negeri.


Serunya lagi, prinsip tersebut bagai terpatri dalam sosok pria yang menjadi penasehat ahli bidang ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa ini. Maksudnya, dia tidak hanya galak saat di luar lingkaran kekuasaan. Maaf, banyak contoh mereka yang galak saat di luar, lalu jadi good boy begitu masuk ke zona nyaman seiring dengan jabatan yang disematkan. Para ‘pejuang’ tadi rajin bersuara lantang untuk menaikkan ‘harga’ dan posisi tawar.


Terpental karena reklamasi

Nah, potret seperti itu tidak kita temukan dalam sosok RR. Baik di dalam maupun di luar lingkarang birokrasi, dia tetap konsisten. Dipecatnya dari posisi Komisaris Utama PT Semen Gresik Grup karena memimpin demo anti kenaikan harga BBM di era Presiden SBY, adalah salah satu contoh saja. Yang teranyar, Rizal Ramli harus terpental dari kursi Menko Maritim dan Sumber Daya karena dia menentang reklamasi Pantai Utara Jakarta yang diteken Gubernur Basuki Tjahya Purnama alias Ahok.


Tunggu dulu,  saya ingin berhenti sejenak pada  huru-hara reklamasi yang berujung dicopotnya RR. Sampai kini, peristiwa itu tetap tidak masuk  dalam nalar saya. Kok bisa-bisanya Presiden Jokowi mencampakkan RR ‘hanya’ karena reklamasi? Pasalnya, sebagai Presiden, sejatinya Jokowi telah amat banyak menikmati kiprah RR selama menjadi pembantunya.


Jokowi juga ‘harusnya’ berterima kasih kepada RR karena bersedia menjadi ‘bumper’ dalam menghadapi Wapres Jusuf Kalla (JK). Maklum, jam terbang JK jauh malampaui Jokowi. Orang Jawa menyebutnya Jokowikalah awu berhadapan dengan Jusuf Kalla.


Adalah bukan rahasia lagi kalau syahwat pengusaha JK tetap tinggi kendati sudah berkantor di Merdeka Selatan, Istana Wapres. Untuk urusan yang satu ini, orang lingkaran Istana pernah mengutip kalimat Jokowi kepada seorang menterinya, “Pak JK kok gakenyang-kenyang, ya…?”


Pada titik ini, RR bukan hanya tampil sebagai ‘bumper’. Lelaki yang sudah ‘badung’ sejak mahasiswa itu bahkan sering ‘menyalak’ kencang. Dia juga memperkenalkan kosa kata Pengpeng untuk penguasa yang merangkap jadi pengusaha.


“Menjadi penguasa itu mulia. Jadi pengusaha juga bagus. Tapi kalau menjalani dwifungsi pengusaha sekaligus pengusaha, ini yang tidak bagus. Saya menyebut yang seperti ini sebagai Pengpeng, alias penguasa pengusaha. Ini tidak fair. Tidak adil. Ini merusak perekonomian Indonesia,” ujarnya saat itu.


Kendati RR sama sekali tidak menyebut nama untuk Pengpeng, namun sontak JK meradang. Entah apa sebabnya. Mungkinkah dia merasa sodokan itu ditujukan kepadanya? Kalau iya, pertanyaan berikutnya, kenapa harus merasa seperti itu? Jangan-jangan… Tauk ah, gelap!


Berkali-kali menolak jabatan


Kita kembali ke soal RR nyalon DKI-1 tadi. Banyak orang terheran-heran, kenapa pula dia maju di Pilkada DKI? Buat yang positive thinking dan menaruh respect tinggi,  mereka umumnya berpendapat RR levelnya sudah jauh lebih tinggi daripada sekadar gubernur. Dia sudah pernah jadi Menteri Keuangan dan dua kali Menko. “RR harusnya jadi Wapres bahkan presiden,” ujar karib saya yang pengusaha.


Namun buat mereka yang hobi su’uzhon, majunya RR diterjemahkan sebagai orang yang kurang kerjaan.  Mereka juga mem-bullydia sebagai orang yang haus jabatan dan kekuasaan. Buktinya, sudah jadi Menko kok ikut-ikut rebutan posisi Gubernur.


Benarkah RR gila jabatan? Dulu, waktu SBY menyusun Kabinet Persatuan jilid 1, RR menolak posisi Menteri Perindustrian yang disorongkan. “Saya bukan orang yang cari-cari kerjaan, Ed,” katanya kepada saya via telepon beberapa hari setelah susunan kabinet diumumkan.


Selidik punya selidik, ternyata jabatan Menteri Perindustrian itu merupakan kompromi SBY setelah JK menggergaji RR di menit-menit terakhir pengumuman kabinet. Sebelumnya SBY  menjanjikan posisi Menko Perekonomian kepadanya. Ya, Jusuf Kalla sangat berkepentingaan agar RR tidak masuk dalam lingkaran kekuasaan. pasalnya dia tahu betul, RR akan jadi duri dalam daging yang sangat mengganggu kepentingan bisnis keluarganya.


Masih ada lagi. Rizal Ramli dua tiga kali menolak jabatan keren yang disorongkan Gus Dur. Pertama sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menggantikan  Satrio ‘Billy’Budihardjo Joedono. Lalu, dia menampik posisi Dubes RI di Amerika yang dijabat Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Baru ketika Gus Dur ‘memaksa’ duduk menjadi Kepala Bulog, dia tidak kuasa menolak. Itu pun dia mengajukan syarat, hanya akan menjabat maksimal setahun, setelah itu megundurkan diri.


Jauh sebelum itu, dia  juga menolak tawaran jabatan menteri ketika Baharuddin Jusuf Habibie baru naik meneruskan periode Pak Harto yang mengundurkan diri. Yang terbaru, awalnya RR juga menolak posisi Menko Maritim  yang disorongkan Jokowi beberapa jam sebelum reshuffle kabinet jilid satu diumumkan. Alasannya, maritim bukanlah bidang yang dikuasainya. Namun karena Jokowi terus mendesak, ditambah embel-embel yang memintanya adalah rakyat Indonensia, maka dia tidak mampu menghindar. Tapi, lagi-lagi RR mengajukan sejumlah syarat yang harus Jokowi setujui untuk menerima jabatan tersebut.


Dengan serenceng rekam jejak seperti ini, rasanya para RR haters tadi harus bepikir ulang jika bermaksud meneruskan pem-bully-annya. Lain soal kalau mereka adalah pasukan yang teguh menggenggam prinsip ‘maju tak gentar membela yang bayar.’ Hehehe…


Membangun tanpa air mata


Kendati disesaki dengan rekam jejak serius dan penuh risiko, tidak berarti RR adalah sosok yang melulu serius. Kepada wartawan yang kodratnya memang kepo, dia mengatakan, “Kami ingin membangun Jakarta yang asyik. Tidak perlu dengan grusak-grusuk, apalagi bersimbah air mata,” katanya penuhsense of humor dan sedikit puitis. Jakarta yang asyik gitu, loh…


“Saya ingin menata, bukan menggusur permukiman warga. Urban renewal. Jakarta memerlukan Gubernur yang mencintai dan dicintai penduduknya.  Kita butuh gubernur yang mau mendengar, bukan melanggar. Intinya, mari kita membangun DKI dengan semangat mengembalikan kejayaan ibukota,” paparnya.


Rizal Ramli berulang kali menegaskan, bahwa membangun Ibukota bisa dilakukan tanpa air mata dan tangisan. Penggusuran lahan seluas empat hektar di kampung Akuarium, misalnya. Menurut dia, itu sangat tidak manusiawi. Lebih dari 400 keluarga yang sudah menghuni puluhan tahun dan setiap tahun selalu membayar PBB, dipaksa pergi tanpa serupiah pun ganti rugi. Lebih miris lagi, penggusuran dilakukan dengan melibatkan tentara dan polisi. Ini wujud dari kapitalisme ugal-ugalan.

Menurut dia, ada cara lain yang lebih santun. Di atas 0,5 ha bisa dibangun rusun bagi warga, masing-masing mendapat sekitar 60-70 m2 secara gratis. Biayanya paling banter cuma Rp150 miliar-Rp200 miliar. Setengah ha lain dibangun lahan bermain untuk warga bersosialisasi. Sisanya yang 3 ha baru dijual ke swasta dengan harga mulai Rp25 juta rupiah/m2. Dari kalkulasi ini, pemerintah masih dapat untung Rp550 miliar-Rp600 miliar. Namun tidak ada air mata warga yang tertumpah karena dizalimi. Pada saat yang sama, pengusaha pun  memperoleh lahan untuk mengembangkan bisnis propertinya.Win win solutions.

Dia juga sudah punya konsep mengatasi kemacetan yang selama belasan tahun jadi momok warga Jakarta. Kebijakan ganjil-genap di jalan protokol adalah gagasannya kepada Gubernur DKI Jakarta Jokowi.

Di  kantongnya juga sudah ada konsep kereta bawah tanah alias subway untuk transportasi publik, akses air bersih termasuk membuat sumur serapan untuk warga miskin, pemberdayaan UKM dan pedagang kaki lima, dan lainnya.

“Dengan APBD sekitar Rp70 triliun, kita bisa lakukan apa saja untuk warga Jakarta. Bukan hanya bagi kepentingan kalangan menengah atas. Tapi justru terutama untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat menengah bawah,” ujarnya.

Sayangnya, fakta yang ada justru menunjukkan Jakarta dikenal sebagai provinsi yang paling rendah serapan anggarannya di Indonesia. Ada ratusan triliun rupiah anggaran DKI yang mengendap di bank.

Dulu, Gubernur Ali Sadikin terbukti mampu membangun banyak fasilitas publik. Antara lain, taman-taman, penghijauan, gelanggang remaja, sekolah-sekolah, dan berbagai fasilitas umum (Fasum) serta fasilitas sosial (Fasos) lainnya. Padahal, saat itu Jakarta hanya punya dana yang minim.  

“Bang Ali terbukti bisa. Kita pun pasti bisa. Syaratnya, kita mohon pertolongan Allah serta keberpihakan kepada rakyat kecil dan menengah. Bukan pengabdian kepada para cukong dan pengembang,” pungkasnya.

Singkat kata, RR memang layak dan pantas memimpin Jakarta. persoalannya, Pilkada adalah hajatannya para Parpol. Sehebat apa pun sang tokoh, sekuat apa pun rakyat menghendaki, jika Parpol emoh memberi tiket, apa boleh buat, dia tidak bisa melenggang ke bursa pencalonan. Partai punya matematika dan kepentingannya sendiri.

Meski demikian, harapan harus tetap ada. Kita berharap, Parpol mau mendengar suara dan keinginan rakyat. Parpol (kali ini) mau melihat realitas yang ada, betapa banyak kalangan dan komunitas menghendaki Rizal Ramli jadi Gubernur Jakarta.

RR sendiri mengklaim sekitar 40 organisasi dan komunitas yang memintanya maju. Namun aktivis Agus Priyanto punya catatan berbeda. Menurut dia, sampai pekan silam, sudah lebih dari 60 organisasi dan komunitas yang mendesak RR maju. Dia bahkan membuat kliping organisasi dan komunitas, lengkap dengan link berita saat mereka meminta atau mendeklarasikan dukungan kepada Rizal Ramli. Nah, tuh kaaan…  (*)[Edy Mulyadi]