Peristiwa Penjaringan, Bentuk Provokasi dan Arogansi Ahok

Demo warga tolak Ahok (IST)
Demo warga tolak Ahok (IST)

Peristiwa di Penjaringan, Kamis (23/6) dimana masyarakat menolak kedatangan Ahok di daerah tersebut yang harus diakhiri dengan korban luka hasil bentrok massa dengan aparat yang menjaga Ahok dan mengawal Ahok masuk ketengah kerumunan massa yang menolaknya.

“Sebuah bentuk arogansi yang provokatif dilakukan oleh seorang gubernur kepada rakyatnya. Tidak ada dialog, tidak ada watak memanusiakan warga yang sedang berpuasa di bulan Ramadhan yang suci ini,” kata pengamat politik dan sosial, Ferdinand Hutahean dalam pernyataan kepada suaranasional, Jumat (24/6).

Kata Ferdinand, aparat dan massa menjadi jatuh kedalam amarah dan emosi hanya karena seorang Ahok yang jelas tidak berpuasa. Yang korban adalah anak-anak pribumi, aparat adalah putra putri pribumi, masyarakat di sana juga adalah putra putri pribumi, keduanya korban sebuah ekspektasi Ahok yang non pribumi untuk berkuasa atas pribumi.

“Keganasan Ahok sebagai gubernur tidak hanya terlihat dalam peristiwa Penjaringan, dari banyak penggusuran yang dilakukan Ahok adalah bukti Ahok ingin menyingkirkan manusia demi sebuah fasilitas yang katanya mempercantik kota,” kata Ferdinand.

Ferdinand mengatakan, Ahok tidak pantas memimpin Jakarta, Ahok sangat tidak layak mendapat dukungan dari masyarakat. Bukan karena Ahok China, tapi karena tidak manusiawi, berwatak keras, bicara kasar, senang konflik dan suka merendahkan.

“Bahkan agama yang dia anutpun direndahkan dengan menyebut Kristen sebagai agama yang aneh serta teranyar ucapannya yang akan menantang Tuhan jika Tuhan salah. Sungguh Ahok benar-benar barbar karena Tuhan tidak pernah salah,” ungkapnya.

Selain itu, kata Ferdinand, Ahok telah merusak kebinekaan dengan membakar sentimen primordialisme. Fenomena Ahok sangat berpotensi membakar sentimen SARA karena sikap buruknya terhadap kaum Pribumi.