Hukum Tukar Uang Dikurangi, Haram?

Menjelang hari Raya Idul Fitri di Indonesia seringkali kita melihat ada para jasa penukaran uang dadakan dipinggir jalan.

Maksud mereka menjual jasa tukar uang adalah untuk memecah uang mereka agar bisa dibagi-bagikan.

Lalu bagaimana hukumnya dalam pandangan Islam tentang tukar menukar uang yang uang ditukar akan dikurangi?

seperti contohnya memberi jasa penukaran uang (sesama rupiah) dengan mengambil keuntungan tertentu yang jumlahnya kita tetapkan ataupun jumlahnya sukarela? Misal apabila uang nominal Rp 100.000,- ditukar dengan uang nominal Rp 5.000,- sebanyak 20 lembar, kita ambil imbal jasa sebesar Rp 5.000,- atau nilainya terserah yang menukar?.

Berikut kami paparkan dari pendapat ustad Ahmad Sarwat, Lc. yang kami kutip dari eramuslim, “Penukaran uang dalam satu mata uang namun dengan nilai yang tidak sama adalah bagian dari riba. Meski pun bentuk fisiknya beda, tapi nilainya teap sama. Maka uang pecahan seratus ribu ditukar kalau mau ditukar dengan uang lima ribuan, nilainya harus sama. Tidak boleh berbeda walau hanya satu rupiah pun. Sebab khusus dalam tukar menukar uang dalam satu mata uang, tidak boleh ada perbedaan nilai”.

“Adapun tukar menukar uang antara mata uang yang berbeda, tidak termasuk hal yang diharamkan. Sebab keduanya adalah mata uang yang berbeda. Nilai masing-masing bisa saling berbeda dan setiap hari selalu berubah. Seolah-olah keduanya adalah dua komoditi yang berbeda, lalu punya nilai yang juga fluktuatif. Karena itu boleh dipertukarkan antara satu dengan yang lainnya” lanjut Ustad Ahmad.

“Karena itu dalam kasus kita punya simpanan uang dalam mata uang yang stabil, lalu kita menjualnya karena nilainya bagus, tidak termasuk yang diharamkan. Asalkan kita tidak menjadikan hal itu sebagai sebuah proyek ambisus yang mendatangkan uang”.

Baca juga:  Tukar Menukar Uang Baru Saat Lebaran, Haram?

“Maksudnya adalah bahwa kita diharamkan untuk menjadi spekulan yang kerjanya memang hanya berspekulasi dan bermain bursa mata uang asing. Yang haram adalah melakukan spekulasi dan gamblingnya. Dan hal inilah yang sesungguhnya terjadi di bursa valuta asing,” imbuhnya.

“Sedangkan bila kita sengaja menyimpan uang dalam dolar agar tidak terkena dampak merosotnya nilai uang, tentu saja bukan hal yang diharamkan,” pungkas Ustad Ahmad.

Berbeda lainnya dengan pendapat dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kudus M Syafiq Nashan.

Syafiq mengungkapkan, bisnis penukaran uang tidak selamanya diharamkan, karena harus disesuaikan dengan akad transaksinya.

“Jika akad transaksinya, penyedia jasa mengungkap secara langsung permintaan uang jasa atas jerih payahnya mengantre untuk menukar uang di bank, maka transaksinya dianggap sah,” ujarnya, di Kudus, seperti kami kutip dari Republika, Jumat (24/6/2016).

Artinya, kata dia, masyarakat yang membutuhkan uang pecahan menyerahkan uangnya sesuai dengan jumlah uang pecahan yang dibutuhkan. Sedangkan besarnya kompensasi jasa atas jerih payahnya mengantre untuk mendapatkan uang pecahan di bank harus sesuai kesepakatan keduanya.

Baca juga:  Donor Darah Membatalkan Puasa?

Biasanya, kata dia, besarnya jasa tersebut masih bisa ditawar, terutama masyarakat yang melakukan tukar uang dalam jumlah besar.

“Haram hukumnya, jika penyedia jasa tukar uang tersebut menyiapkan paket uang pecahan, misal sebesar Rp90 ribu, untuk dijual kepada masyarakat sebesar Rp100 ribu,” ujarnya.

Kelebihan dari penukaran tersebut, katanya, dianggap riba, karena transaksinya jelas-jelas jual beli uang. Dalam hukum Islam, lanjut dia, penukaran uang itu harus setara nilainya, mengingat uang bukan komoditas melainkan alat tukar.

Suwarto, salah satu penyedia jasa tukar uang di Jalan Sunan Kudus menolak, usahanya tersebut dikatakan haram hukumnya.

Apalagi, kata dia, usahanya tersebut menciptakan lapangan kerja baru, meskipun hanya sementara.

“Ulama juga harus memahami kondisi riil di lapangan, terutama menyangkut aktivitas usaha masyarakat kecil yang memanfaatkan momen Lebaran untuk menghidupi keluarga,” ujarnya. Apalagi, seragam kaos yang dikenakan maupun pamflet yang terpasang dikatakan sebagai jasa tukar uang.

“Setiap bertransaksi, saya selalu meminta besarnya uang jasa untuk setiap paket uang yang hendak ditukar. Sedangkan paket uang yang disediakan juga tidak dikurangi,” ujarnya. Uang jasa yang diminta

Wallahu a’lam bishshawab.