Penjarakan! Kaitan Ahok, Aguan, Trihatma dalam Labrak Hukum demi Reklamasi Jakarta

Gubernur Ahok saat rapat bersama Presdir PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja membahas proyek reklamasi. (IST)
Gubernur Ahok saat rapat bersama Presdir PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja membahas proyek reklamasi. (IST)

Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pemilik Agung Sedayu Group (ASG) Aguan dan bos Agung Podomoro Land (APL) Trihatma patut diduga sebagai biang kerok terealisasinya reklamasi Teluk Jakarta.

Penegasan itu disampaikan pengamat politik Muslim Arbi kepada suaranasional (22/04). “Dari sisi hukum dan aturan, dalam proyek reklamasi ada kongkalikong antara Ahok, Aguan, Trihatma dan pengembang lainnya. Jika tidak ada, kenapa belum ada perda, proyek sudah dikerjakan? Ahok seolah main mata,” tegas Muslim Arbi.

Menurut Muslim, karena Perpres soal reklamasi sudah dicabut, maka reklamasi Teluk Jakarta tidak perlu diteruskan. Di sisi lain, pembuatan pulau-pulau kecil hasil reklamasi harus mendapat persetujuan dari Kementerian KKP. Karena kesannya dipaksakan untuk Raperda Reklamasi maka terjadilah kasus suap yang menjerat M Sanusi, Arisman Wijaya dan berimbas dicekalnya Aguan dan Sunny oleh KPK.

Baca juga:  Kasus Pelecehan Al Quran Ahok, Pertaruhan Jokowi dan PDIP

“Patut diduga, Aguan dan Trihatma punya kepentingan besar terkait adanya Perda Reklamasi? Agak sulit untuk menghindar dari dugaan ini. Sementara reklamasi itu adalah upaya memuluskan Raperda Reklamasi?” beber Muslim.

Terkait dugaan keterlibatan Ahok, Muslim menegaskan Ahok, sebagai Gubernur DKI, diduga kuat membiarkan reklamasi berjalan tanpa payung hukum dan aturan yang jelas.

“Apakah dalam hal ini tidak ada kesepakatan tertentu antara Ahok dan Podomoro? Misalnya ambisi politik Ahok dan ambisi Podomoro dan Agung Sedayu Group untuk meluaskan bisnis mereka?” tegas Muslim.

Baca juga:  Tak Datang di Debat tvOne, GBM: Gibran Pemimpin Karbitan

Muslim mengingatkan agar kasus reklamasi Teluk Jakarta ini tidak dipandang sebelah mata sebagai kasus kecil. “Jika ini dibiarkan, maka negara telah ditakhlukkan pemilik modal. Hukum, aturan dan perundangan telah dikondisikan mengikuti selera pemodal besar,” pungkas Muslim.