IZI, PKPU dan Kemanusiaan

Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi, Associate Expert FOZ)

Di dunia perbankan, langkah spin off lembaga sebenarnya sesuatu yang biasa saja. Namun, lain ceritanya di dunia perzakatan; langkah PKPU mendirikan IZI dengan metode spin off, belumlah dikenal. Sebuah entitas-bisnis baru, dengan berbagai alasan, dibuat dari induk sebelumnya kemudian dilepas secara sistematis. Secara umum, spin off dilakukan dalam rangka peningkatan atau pencapaian tujuan perseroan secara maksimal.

Secara yuridis istilah spin off bisa ditemukan dalam Undang. undang Perseroan Terbatas yang baru, yaitu Undang-undang Nomor No 40 tahun 2007 yang mengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995. Istilah “spin off” atau “pemisahan” dikenal dalam Pasal 1 angka 12, yaitu: “Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih.”

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa, pemisahan atau spin off adalah suatu tindakan hukum yang bertujuan untuk memisahkan diri yang terjadi sebelumnya dalam suatu badan hukum kemudian ia “memekarkan” atau “membelah diri” dengan pengakuan hukum atas pemekaran atau pembelahan diri tersebut. Kondisi pembelahan diri atau pemekaran badan hukum tersebut diawali dengan kehendak pihak-pihak, yang tertuang dalam kesepakatan atau perjanjian, yang dibuat oleh mereka yang memiliki kewenangan dalam organisasi atau lembaga tersebut (Afrizal, 2009: 2).

Walau tampak sederhana, sesungguhnya PKPU menyiapkan langkah spin off ini cukup panjang. Ada dua alasan besar yang melatarbelakangi PKPU melakukan spin off ini.

Alasan pertama, PKPU akan me-leverage lembaganya untuk go international. PKPU menyadari bahwa dalam perjalanan kelembagaan yang menginjak usia 16 tahun, ada sejumlah perubahan yang terjadi di lingkungan internal dan eksternal. Perubahan itu, selain adanya kemunculan regulasi zakat yang baru, terkait dinamika lingkungan aktivitas PKPU, terutama di dunia kemanusiaan di lingkup internasional.

Sejak terjadinya musibah besar berupa tsunami Aceh pada akhir 2004, PKPU memulai era baru sebagai NGO yang memiliki mitra internasional. Kondisi inilah yang menginspirasi PKPU untuk kemudian mengurus legalitas sebagai bagian dari NGO internasional. Pada tahun 2008, PKPU secara resmi menjadi bagian ECOSOC UN. Jelas hal ini menuntut PKPU membuka diri pada pergaulan lintas negara, dan harus pula mempersiapkan diri memiliki reputasi dunia.

Ada konsekuensi yang harus ditempuh PKPU ketika ingin menguatkan kiprahnya di dunia kemanusiaan internasional, yakni melepas tugas dan fungsi amil zakat yang selama ini telah melekat secara bersamaan. Agar bisa fokus, PKPU harus melepas fungsi internalnya dalam urusan zakat yang memang memerlukan pengawalan proses yang tidak semakin mudah.

Regulasi zakat terbaru banyak mensyaratkan sejumlah aturan yang kadang tidak simetris dengan cita-cita PKPU untuk berkiprah di dunia kemanusiaan internasional. Saat yang sama, secara karakter SDM, mau tidak mau harus semakin fokus dan memiliki kompetensi di bidang masing- masing (PKPU, 2015).

Alasan kedua, historis penghimpunan zakat PKPU. Dari data-data yang dihimpun oleh internal manajemen, ditemukan fakta bahwa ternyata tren pengelolaan dana PKPU yang dominan justru bukan berasal dari zakat. Dana yang terkelola justru lebih banyak berupa dana non-zakat, dan ini berlangsung beberapa tahun lamanya.

Setelah melakukan kajian dan serangkaian diskusi internal yang panjang, manajemen PKPU mengambil kebijakan melakukan spin off dengan mendirikan IZI. Dalam kerangka melakukan adaptasi terhadap regulasi zakat yang baru, yakni UU No.23 Tahun 2011 dengan turunan peraturannya, mendirikan IZI lebih dipilih dibandingkan meneruskan nama dan brand lama (PKPU).

Alasan paling penting mengapa IZI dilahirkan adalah adanya tekad yang kuat untuk membangun lembaga pengelola zakat yang otentik. Dengan fokus dalam pengelolaan zakat serta donasi keagamaan lainnya, diharapkan IZI dapat lebih sungguh-sungguh mendorong potensi besar zakat menjadi kekuatan riil dan pilar kokoh penopang kemuliaan dan kesejahteraan umat melalui positioning lembaga yang jelas, pelayanan yang prima, efektivitas program yang tinggi, proses bisnis yang efisien dan modern, serta 100% shariah compliance sesuai sasaran ashnaf dan maqashid (tujuan) syariah.

Konsekuensi dari spin off memang tidak mudah. Selain harus mempersiapkan organisasi baru, saat yang sama juga kami harus memastikan bisa memenuhi seluruh persyaratan dan ketentuan regulasi zakat agar IZI bisa mendapatkan legalitas. Apalagi sejal awal PKPU menargetkan bahwa IZI harus mendapatkan kedudukar sebagaimana PKPU, yakni LAZ tingkat nasional. Kendatipun reputasi PKPU sebagai LAZNAS turut membantu IZI dalam mengurus seluruh persyaratan, sejak awal memang ada harga yang harus dibayar ole tim yang baru dibentuk oleh PKPU ini. Orang-orang yang ada di IZI sebenarnya orang lama yang berkiprah di PKPU. Namun, regulas yang harus mereka patuhi bukan lagi seperti masa lalu. Untuk itulal diperlukan kemampuan tim bentukan baru PKPU itu untuk seger bisa berkiprah di IZI. Alhasil, ringkas cerita, alhamdulillah target IZ menjadi LAZ tingkat nasional pun dapat dipenuhi dengan baik.