Antara Keresahan BRIN dan Jokowi Terkait HGU 190 Tahun Bagi Investor di IKN

Oleh: Agusto Sulistio – Mantan Kepala Aksi Advokasi PIJAR era tahun 90an.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa lebih dari 200 pulau kecil di Indonesia telah diprivatisasi dan diperjualbelikan hingga tahun 2023, dengan jumlah terbanyak di DKI Jakarta dan Maluku Utara. Kepala Pusat Riset Politik BRIN, Athiqah Nur Alami, menyatakan bahwa privatisasi ini menimbulkan dampak negatif, terutama akibat industri ekstraktif seperti pertambangan, eksplorasi minyak dan gas, serta penangkapan ikan besar-besaran.

Aktivitas ini tidak hanya menyebabkan kerusakan ekosistem dan pencemaran lingkungan, tetapi juga mengancam keberlanjutan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil. Dengan pencemaran logam berat di sungai-sungai sekitar pabrik dan hilangnya hutan akibat pertambangan, ruang hidup masyarakat setempat semakin terampas, membatasi akses mereka untuk melaut. Laporan dan keresahan BRIN terkait maraknya penjualan pulau di negara kita tidak terpecahkan oleh keputusan Presiden RI, Ir. Joko Widodo, yang mana telah mengeluarkan keputusan terkait HGU lahan hingga 190 tahun bagi investor di IKN. BRIN menekankan perlunya refleksi dan peninjauan ulang regulasi pengelolaan pulau-pulau kecil agar sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, yang bertujuan melindungi dan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Kebijakan Jokowi atas HGU 190 Tahun di IKN

Kekhawatiran yang disampaikan oleh BRIN tentang maraknya penjualan pulau-pulau kecil harus dianggap sebagai kewaspadaan kolektif dalam menjaga kedaulatan negara. Oleh karena itu, kebijakan Presiden Jokowi terkait pemberian HGU hingga 190 tahun bagi investor di IKN menjadi kontroversial. Kebijakan ini seharusnya mengedepankan aspek keamanan, pertahanan, dan kedaulatan bangsa, tanpa bertentangan dengan instansi lain seperti BRIN, yang telah mengungkapkan kekhawatirannya terkait penjualan pulau.

Menurut konstitusi, pemimpin negara wajib membuat keputusan strategis yang melindungi seluruh rakyat dan wilayah negara. Oleh karena itu, setiap kebijakan Presiden harus menjadikan kedaulatan negara sebagai prinsip utama.

Langkah Jokowi ini terlihat lebih fokus pada mencari investasi besar untuk pembangunan IKN. Pemberian HGU hingga 190 tahun ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sesuai dengan Undang-Undang IKN. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa undang-undang strategis terkait keamanan dan kedaulatan negara menjadi kurang relevan ketika dihadapkan dengan proyek IKN.

Kebijakan ini dinilai dapat mengurangi kontrol pemerintah terhadap sumber daya strategis seperti lahan di ibu kota negara. Pembangunan besar-besaran di IKN juga berpotensi merusak ekosistem dan menyebabkan pencemaran lingkungan yang signifikan.

Meskipun diharapkan menarik investasi besar yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan infrastruktur, kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan tantangan sosial seperti penggusuran penduduk lokal dan ketimpangan sosial ekonomi. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengevaluasi secara seksama semua aspek kebijakan ini guna memastikan pembangunan berkelanjutan yang memberikan manfaat maksimal bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Dampak HGU yang Panjang Berbagai Negara

Privatisasi dan penjualan pulau-pulau kecil di Indonesia memunculkan kekhawatiran serius. Berikut ini adalah contoh kasus serupa dan dampak yang ditimbulkan di Indonesia serta berbagai negara di dunia.

Kasus Freeport di Papua, dimulai pada 1967 pada era Orde Baru hingga pemerintahan Joko Widodo, mengancam kedaulatan wilayah Indonesia. Kontrak panjang dengan Freeport-McMoRan menyebabkan minimnya kontrol Indonesia atas sumber daya alam strategis di Papua. Meskipun memberikan kontribusi ekonomi melalui pajak dan royalti, manfaat lebih banyak dinikmati oleh perusahaan asing, merugikan warga Papua, menciptakan konflik antara pemerintah pusat dan daerah, serta ketegangan antara Indonesia dan AS.

Perkebunan sawit di Kalimantan dan Sumatera yang berkembang pesat sejak 1980-an, dari masa pemerintahan Orde Baru hingga sekarang, juga menimbulkan masalah serupa. Deforestasi, kemiskinan, dan penggusuran masyarakat adat terjadi akibat ekspansi perkebunan sawit yang kini merambah Papua. Meski memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB dan ekspor, kerusakan lingkungan dan sosial tidak dapat dihindarkan. Konflik agraria dan penggusuran masyarakat adat berdampak pada politik dan stabilitas nasional.

Di Ethiopia, selama pemerintahan Meles Zenawi (2001-2012), pemberian hak guna usaha lahan (HGU) jangka panjang kepada perusahaan asing mengurangi kontrol atas tanah subur. Meski produksi pangan dan ekspor meningkat, keuntungan lebih banyak dinikmati perusahaan asing, memicu protes dan konflik agraria yang signifikan.

Pada era pemerintahan Jair Bolsonaro di Brasil (2019-2021), eksploitasi Hutan Amazon menjadi isu besar. Kebijakan memberikan izin jangka panjang untuk pertambangan dan agribisnis tidak hanya berdampak pada ekosistem Amazon tetapi juga pada kedaulatan Brasil. Protes datang dari dalam negeri dan internasional, serta konflik dengan masyarakat adat tidak terhindarkan.

Kasus-kasus ini membuktikan bahwa kebijakan HGU jangka panjang kerap merugikan kedaulatan, lingkungan, ekonomi, dan stabilitas sosial politik.

HGU yang panjang dan privatisasi pulau-pulau kecil di Indonesia dan kasus serupa bukti fakta dampak yang luas. Pemerintah perlu menyeimbangkan kebutuhan investasi dengan perlindungan hak-hak masyarakat lokal, keberlanjutan lingkungan dan kedaulatan negara.

Dampak dan Tantangan

Dampak Kedaulatan Bangsa dan Negara akibat HGU yang panjang dan penjualan pulau-pulau kecil mengurangi kedaulatan Indonesia atas wilayahnya, membuka peluang bagi penguasaan asing atas sumber daya strategis. Keuntungan ekonomi dari penjualan pulau kerop tidak dirasakan oleh masyarakat lokal, melainkan oleh segelintir pihak yang terlibat dalam praktek ilegal tersebut. Ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah meningkat, mengakibatkan instabilitas politik dan sosial yang merugikan pembangunan nasional.

Penutup

HGU yang panjang hingga 190 tahun dan penjualan pulau di Indonesia mencerminkan kelemahan regulasi, pengawasan, dan penegakan hukum, serta keterlibatan oknum pemerintah dalam praktek ilegal. Pemerintah perlu mengambil langkah tegas dan transparan untuk memperkuat regulasi, meningkatkan pengawasan, dan menindak tegas oknum-oknum yang terlibat. Hanya dengan demikian, kedaulatan, ekonomi, dan stabilitas politik dapat terjaga, serta kepercayaan publik dapat dipulihkan.

Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu 17 Juli 2024, 19:18 Wib.