Pancasila tak Pernah Sakti, Syariah Islam Solusi Hakiki

Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik

Dua hari lalu, tepatnya pada tanggal 1 Juni 2024, diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Penetapan hari lahir ini, bukan tegak diatas kesepakatan, melainkan atas ego otoriter dari penguasa.

Kenapa demikian? Karena sejak Republik ini berdiri, tidak pernah ada konsensus tentang hari lahir Pancasila. Pancasila lahir dengan perdebatan, dan baru disepakati sebagai dasar negara setelah ada konsensus Piagam Jakarta. Karena itu, kalau mau fair, sebenarnya Pancasila tidak lahir 1 Juni, tetapi lahir saat ada kesepakatan Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni 1945.

Lalu, Pancasila kembali dirombak, setelah Piagam Jakarta dikhianati oleh Soekarno, dengan menghilangkan kesepakatan ‘Menjalankan Syariat Islam Bagi Segenap Pemeluknya”. Pada sidang PPKI, Soekarno menuliskan ulang redaksi Pancasila yang mengkhianati kesepakatan menerapkan syariat Islam bagi pemeluknya, yakni pada tanggal 18 Agustus 1945.

Kalau mau kompromi, semestinya hari lahir Pancasila ditetapkan 18 Agustus. Kalau mau fair dan terikat dengan founding father, semestinya hari lahir Pancasila ditetapkan tanggal 22 Juni dengan penghormatan setinggi-tingginya pada umat Islam untuk menjalankan syariatnya.

Tapi yang terjadi, Pancasila 1 Juni bukanlah Pancasila hasil kesepakatan pendiri bangsa. Bukan pula Pancasila yang berkhianat pada Piagam Jakarta. Melainkan, Pancasila yang menolak negeri ini dibangun oleh para ulama dan banyak santri, lalu seolah negeri ini hanya hasil jerih payah seorang Soekarno, dengan menggunakan tangan kekuasan, rezim Jokowi memaksa menetapkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila.

Selanjutnya, 1 Oktober diperingati sebagai hari kesaktian Pancasila. Hari yang menandai PKI dan komunisme mampu di berangus, dengan menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang.

Hari ini, Neo PKI dan komunisme gaya baru merajalela. Alih-alih komunisme yang dikejar dan diburu sebagai ajaran terlarang, Ajaran Khilafah justru yang dipersoalkan.

Pancasila hanya digunakan untuk menyerang Islam. Menuduh umat Islam yang menginginkan penerapan syariat Islam sebagai radikal (dahulu disebut ekstrim kanan pada era Soeharto). Sementara, Pancasila sangat permisif pada sosialisme komunisme dan tak mampu berbuat apa-apa pada penjajahan Neo imperialisme Kapitalisme liberal.

Kekayaan alam dirampok asing dan aseng, sementara rakyat terus dipalak dengan berbagai pungutan dan pajak. Terakhir, rakyat dipalak dengan Tapera, tabungan tapi memaksa, tabungan tapi tak bisa diambil sesukanya, tabungan tapi merampas keringat pekerja.

Ya, negeri ini memang sudah rusak. Kapitalisme liberal adalah biang keroknya. Solusinya syariah Islam, bukan Pancasila.

Kenapa bukan Pancasila ? Apakah, Pancasila tak lagi sakti?

Jawabnya, karena syariat Islam solusi dari Allah SWT. Bukan hanya solusi, syariat Islam adalah kewajiban. Syariat Islam untuk Rahmat seluruh alam, bukan hanya untuk umat Islam. Penerapan syariat Islam untuk seluruh warga negara, bukan hanya bagi pemeluknya.

Penerapan syariat Islam bagi segenap warga negara, baik muslim maupun non muslim (ahludz dzimmah), hanya bisa diwujudkan dengan Khilafah, yang mengadopsi sistem Piagam Madinah. Bukan merujuk Piagam Jakarta.

Piagam Madinah, adalah konstitusi yang diadopsi dari Al Qur’an dan as Sunnah, yang dijalankan dalam sebuah sistem pemerintahan Islam. Pemerintahan Islam bukan Republik, bukan kerajaan, melainkan Khilafah.

Sementara Pancasila, bukan tak lagi sakti, namun tak pernah sakti. Pancasila hanya alat politik rezim, dulu dimanfaatkan Soekarno, lalu dimainkan oleh Soeharto, dan sekarang dijadikan alat gebuk untuk membungkam dakwah Khilafah oleh rezim Jokowi.

Sudah saatnya, umat Islam kembali pada ajaran Muhammad Saw, bukan membebek pada Soekarno. Umat Islam harus kembali pada Islam Kaffah, bukan Islam Nasakom, bukan Islam liberal. Islam kaffah yang diterapkan dalam naungan institusi Daulah Khilafah. [].