Komnas HAM Sebut Jokowi Ambigu, Ada Apa?

Presiden Jokowi (Tibunnews)
Presiden Jokowi (Tibunnews)

Ketika nilai-nilai universalitas seperti nilai ketuhanan disetujui sebagai butir pertama Pancasila maka tidak bisa disangkal bahwa negara ini dijiwai oleh nilai-nilai spiritualitas agama yang dianut.

Sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang maha esa” tidak pernah menegaskan agama tertentu. Namun adanya pengakuan bahwa bangsa ini berpijak pada agama sebagai landas pijak pengelolaan pemerintahan.

“Memang kita tidak mengakui negara agama untuk menerapkan secara formal dogma masing-masing agama dalam pemerintahan dan politik karena kita bukan negara agama (teokrasi), kita juga bukan negara sekuler yang memisahkan secara tegas antara urusan langit (ketuhanan) dan urusan bumi (sekulerisme) tetapi negeri kita berada di antara negara teokrasi dan negara sekuler. Itulah fakta di negeri ini,” tegas komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai dalam keterangannya, Rabu (12/4).

Lebih lanjut Pigai menjelaskan, sebagian besar rakyat Indonesia telah didoktrin beragama dan berketuhanan baik agama lokal yang tumbuh dan berkembang (agama kosmik) maupun agama omport (soteriologi meta kosmik: Islam, Kristen, Hindu, Budha). Karena itu rakyat sangat sulit memisahkan agama dalam pengelolaan negara.

Oleh karena itu, pernyataan Presiden Jokowi yang meminta pemisahan negara dan agama justru dinilainya sebagai sebuah pengingkaran terhadap Pancasila. Ini sikap yang sangat berbahaya dari kepala negara RI.

“Seharusnya DPR RI meminta penjelasan dan keterangan Presiden atas sikap tersebut untuk menggali apakah negeri ini mau diubah menjadi negara sekuler atau komunis?” ujar Pigai.

Dengan sikap Jokowi itu, lanjut Pigai, semakin jelas untuk berkesimpulan bahwa Revolusi Mental stagnan.

Kegagalan revolusi mental, menurut dia, juga bisa dicermati dari pernyataan Menko perekonomian Darmin Nasution yang justru mempertanyakan pengertiannya. Ini berarti ada yang salah dalam implementasi atau justru pemerintah tidak mencerminkan nilai-nilai perilaku yang baik dalam tata kelola pemerintahan yakni; korupsi, kolusi dan nepotisme, khususnya dalam pengelolaan sumber daya ekonomi nasional.

“Kita harus waspadai jangan sampai negeri ini semakin terjerumus dalam Sekulerisme atau bahkan komunisme dengan mengesampingkan sila pertama Pancasila sebagai norma dasar (ground norm) bangsa Indonesia,” tutup